Sabtu, 02 November 2013

Teori kritis Max Horkheimer dalam Konteks Pragmatis Seni Teater Berupa pertunjukan Kabaret


Teori kritis Max Horkheimer dalam Konteks Pragmatis Seni Teater
 Berupa pertunjukan Kabaret
oleh : Achmad Dayari
Teori Kritis
          Teori dalam sebuah penelitian jelas memiliki kedudukan yang sangat penting, melalui teorilah objek penelitian dapat dipahami sebaik-baiknya, teori merupakan jendela yang melaluinya objek dapat dilihat dengan jelas, teori merupakan akumulasi konseptual sepanjang sejarahnya baik yang diperoleh secara revolusi dan evolusi, teori pulalah yang mampu menjawab semua problematika yang ada dalam penelitian meskipun demikian teori bukanlah segalanya teori tetap saja hanya merupakan alat dan objeklah yang tetap menjadi bagian terpenting dari penelitian objeklah yang menentukan teori apa yang akan digunakan bukan sebaliknya. Dalam pradaban ilmu pengetahuan, dan teknologi yang semakin maju munculah pemikiran-pemikiran yang mengkritisi kemajuan tersebut, pemikiran kritis ini berorientasi pada pola pikir manusia dan keadaan sosial yang terjadi dimanusia itu sendiri, teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu.
            Menurut Zaeni dalam diktat kuliah teori-teori kritis mengatakan Max Horkeimer sekitar tahun 1930an mengemukakan pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal medernitas tentang nalar dan kebebasan dengan mengungkap devinisi dari ideal-ideal itu modernitas tentang nalar dan ideal-ideal itu tentang bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan dan istitusi politik borjuis.
             Teori Kritis secara subtansif tidak memerdulikan prinsip-prinsip umum. Tidak pula berupaya membentuk sebuah sistem ide, melainkan berusaha untuk memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme. Karenanya, fungsi dari Teori Kritis adalah emansipatoris yang bersifat iluminatis. Hal ini jelas berbeda dengan padangan kaum tradisonalis yang memisahkan fakta dengan nilai dan hanya menganalisis fakta-fakta sosial atas dasar hukum yang metodis, dan hal tersebut melahirkan sifat yang anti-histori, memutlakan ilmu pengetahuan dan menegasi individu dalam dialektika historisnya dengan kata lain tidak memikirkan implikasi tertentu karena memisahkan teori dan praksis.
            Tujuan teori kritis adalah untuk mengidentifikasi dan mengatasi semua keadaan yang membatasi keadaan manusia. Tujuan tersebut hanya dapat ditindaklanjuti melalui penelitian interdisiplin yang mencakup dimensi psikologis, budaya dan sosial serta bentuk-bentuk kelembagaan dominasi. (Zaeni, 2011:3) teori kritis mampu brbicara banyak mengenai unsur-unsur kebudayaan, yang salah satunya adalah seni, seni tidaklah tunggal itulah sebabnya membacaan kembali terhadap seni harus dilakukan karena pula pembacaan terhadap seni memungkinkan didasarkan oleh teori yakni seperangkat keyakinan tentang apa maknannya. Karnya seni merupakan komleksitas pemikiran seniman yang didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran untuk membentuk struktur-strukturnya, struktur ini berasal dari pengalaman psikologis dan sosiologis sang seniman, disinilah teori kritis mampu ikut campur.

Teater dan Kabaret
            Pengalaman seniman dalam mencari bentuk untuk karya seninya merupakan hasil observasi yang seniman lakukan demi mendapatkan bentuk karyanya, baik dalam seni pertunjukan, teater tari, musik, seni rekam, sastra dan rupa, pemerolehan ide gagasan dalam pembantukan karya seni melalui proses panjang yang membutuhkan pembacaan pada keadaan sosial dan fenomana yang terjadi dialamnya sehingga hasil seni itu merupakan bentuk fenomena itu sendiri atau dipengaruhi oleh fenomena itu dalam seni teater ini pun terjadi, teater yang menjadikan verbal menjadi penutur utamanya. teater dalam bentuknya rentan dikuasai oleh redusisasi betuk, pragmatis yang menuju pada kapitalisme ini semua harus dikembalikan pada tataran kebenaran dan normatif.
            Salah satu bentuk pragmatisasi seni teater adalah kabaret dalam bentuk penyajiannya kabaret lebih condong pada tarian, musik, dan gerak karikatural yang berlebihan, kabaret berkembang dengan pesat di kota Bandung di kalangan pelajar sekolah menengah pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan mahasiswa, Bandung yang merupakan kota berpenduduk yang kreatif dalam bidang seni atau industri kreatif lainnya banyak sekali menghasilkan produk kesenian yang menarik namun dibalik kemenarikan seni tersebut banyak sekali seni yang dikreasi melampaui batas. Kabaret menjadi salah satu produk itu, kabaret banyak menghilangkan nilai estetik dalam teater sesungguhnya yang telah dibangun semenjak beratus tahun yang lalu.

Pemikiran Kritis Max Horkheimer
            Max Horkheimer lahir pada 14 Februari 1895 di Zuffenhausen di dekat Stutggart Jerman. Ayahnya Moritz (Moses) Horkheimer mendidik dengan keras dan cenderung otoriter, Max memiliki seorang sahabat yang sembilan tahun lebih tua darinya yaitu Friedrich Pollock seorang anak pengusaha Yahudi, berkat pertemuan ini Max menyukai bidang seni, suatu bidang yang baru baginya dan dari pengaruh Pollock pula Max menyukai bidang filsafat sehingga Max masuk ke Frangfurt School
            Setelah berada di Frangfurt School Max pun dipercaya untuk mengelola The Frangfurt Institue For Sosial Reaserch (Institute fur Sozialforsschung) oleh sentuhan Max lembaga ini menemukan bentuknya terutama saat Max menjabat sebagai direktur (1931-1958) pada usia muda yaitu 35 tahun, Max selalu mengambil keputusan penting agar institut ini tetap eksis dan selalu mengupayakan agar pemikiran-pemikiran dalam institut tidak terkooptasi kepentingan politik manapun, sebuah keputusan yang mungkin juga tangtangan sekelompok intelektual yang tidak lazim khususnya pada periode 1923-1950, seklaipun Max menekuni disiplin keilmuan yaitu kebudayaan dan filsafat tetapi The Frangfurt Institue For Sosial Reaserch (Institute fur Sozialforsschung) diperkuat oleh ilmuan dengan beragam latar belakang (Filsafat, Psikologi, Sosiologi dan Sastra) peran penting Max yakni memikirkan dan memfasilitasi pengungsian ke Universitas Columbia New York sampai akhirnya mereka kembali ke Jerman tahun 1949.
            Pada saat Max menjadi mahasiswa di Universitas Jerman, Hans Comelius adalah guru yang sangat inspiratif karena memiliki daya kritis yang luar biasa, dari gurunya itu Max mendapat tugas untuk menganalisa buku Immanuel Khant yang berjudul “Critique of Judgement. Dari situlah hubungan Max dan Comelius semakin akrab dan mebuat Max menaruh perhatian pada teori kritis, Max sangat tergila-gila dengan pemikiran Kant, Hegel dan Karl Mark.
            Max memulai teori kritisnya dengan pertanyaan-pertanyaan “Dapatkan teori rasional tentang diri manusia dalam lingkungannya?”,”Bagaimanakah teori ini menjadi emansipatoris?”, manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi rasional kembali?”,”Dimana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?” dari pertanyaan-pertanyaan tersebut Max kemudian berteori berbagai bidang sosial dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme yang sedang memonopoli kemanusiaanya.
            Max Horkheimer dalam teori kritisnya berupaya untuk menyadarkan manusia agar tidak terjembab dalam kubangan kapitalisme yang dianggapnya telah mereduksi manusia dan realitas itu sendiri menjadi sesuatu yang sangat funsional, pragmatis dan pasif.
Teater sebagai Seni yang Sakral
          Teater terbentuk dari proses peniruan manusia akan tingkah laku alam dan dirinya sendiri, saat manusia belum mengenal tulisan dan bentuk kesenian yang sesunggunya teater diawali oleh manusia-manusia dulu ketika mereka menirukan tidak-tanduk binatang saat mereka berburu, manusia purba yang berburu menyesuaikan langkah kaki dengan hewan buruannya, mekamuflase dirinya dengan alam disekitar buruannya agar tidak dicurigai oleh hewan buruannya, ini merupakan awal ide gagasan teater muncul, teater adalah meniru yang pada masa itu belum diakui dan disepakati sebagai jenis seni peran yang diakui dan disepakati pada masa kini, pada pergerakannya teater terbentuk dari upacara-upacara pemujaan bangsa yunani pada dewanya, hal ini didasarkan temuan naskah teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM. Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Bermula dari upacara keagamaan yang dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang, bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih Menonjolkan penceritaan disitulah tibul unsur teater, seperti dialog, narasi dll.
            Kasim Achma mengatakan, sejarah teater  tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara dimana teater tradisional lahir
macam-macam teater tradisional Indonesia adalah : wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
           


Munculnya Kabaret sebagai bentuk teater yang pragmatis
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/f/fa/Lautrec_at_the_moulin_rouge_1892.jpg/220px-Lautrec_at_the_moulin_rouge_1892.jpg            Istilah kabaret berasal dari sebuah kata berbahasa Prancis untuk ruangan bar atau cafe yang merupakan tempat lahirnya hiburan ini, kata ini awalnya berasal dari bahasa Belanda tengah “Cabret”, bahasa Prancis utara kuno “Camberrete dan dari bahasa latin “camera” yang pada intinya meiliki makna “Ruangan kecil”, kabaret juga merujuk ke rumah bordil gaya Mediterania, bar dengan meja-meja dan wanita-wanita yang berbaur serta menghibur para pengunjung bar tersebut sering juga ditambah dengan hiburan seperti tari-tarian tergantung tempatnya masing-masing, sifatnya dapat liar dan kasar





Kabaret Prancis (Wikipedia)
 
 


            Bentuk pertunjukan kabaret di Indonesia berkembang pesat di daerah Jawa Barat khusunya di wilayah Bandung, bentuk kabaret di Bandung memiliki ciri secara umum dari audio mixing musik terjadinya pengabungan antara sound fx, potongan iklan, potongan dialog film, potongan pertunjukan seni seperti wayang, ilustrasi musik dan yang paling menonjola dalah dari bentung dialog yang direkam atau lipyinc semua itu digabungkan dalam sebuah rekaman, dalam tata pentasnya kabaret menggunakan artistik panggung layak pertunjukan teater konvesional namun dibuat lebih sederhana sampai terkesan seadanya. Kelompok kabaret di Bandung di dominasi oleh pelajar usia SMA atau SMP namun tidak menutup kemungkinan mahasiswa dan masyarakat umumpun banyak yang bergeliat dalam kabaret ini,
            Kabaret menjadi sebuah industri budaya pragmatis yang mengucilkan estetika teater yang sesungguhnya yang dibangun sejak lama, kabaret merupakan proses pasif para penikmatnya, mereka mencoba menghindar dari komleksitas sebuah pertunjukan seni teater yang merupakan tingkat kecerdasan para penggiatnya, bentuk pragmatis ini mencoba menghindar dari tata artistik yang baik dan tata pentas yang baik yang selalu terbangun dari pertunjukan teater, kabaret amat sangat menurunkan setandarisasi pertunjukan seni teater sesungguhnya, sehingga menimbulkan bentuk dangkal dalam sebuah seni pertunjukan, ini semua demi mengejar kepragmatisan sebuah seni teater, mengejar konsumsi publik, dan popularitas hingga menciptakan kapitalisme produk kesenian, Inilah yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer sebagai muslihat besar. Sebagai dosa masa lalu atas kuasa rasio teknologi, individu justru kehilangan basis otonomi dan kendali atas dirinya. Dengan “pencerahan” justru masyarakat diposisikan seolah-oleh sebagai subjek, padahal mereka adalah objek dalam perspektif ini, budaya tidak lagi lahir dari masyarakat sebagaimana yang dipahami dalam konsep ”mass culture,” namun diproduksi dan direproduksi oleh kaum kapitalis atau penguasa dan pemilik modal (borjuasi) untuk meraup keuntungan. Ilusi-ilusi yang mengiring semangat (sprit) “pencerahan” sebagai ekspresi kebebasan atau emansipatoris justru jangan dilihat secara kasat mata. Didalamnya penuh tendensi kepentingan, yaitu ekonomi politik (baca: kekuasaan kelas borjuasi). 
  
Adegan dalam pertunjukan Kabaret
 
313687_264814650230870_1090294367_n.jpg









                                                                                                              
            Pertunjukan kabaret yang meluas di Kota Bandung khususnya berhasil mengikat para penikmatnya yaitu kaum muda dalam lingkaran star syndrom, menciptakan mereka terus berpikir untuk menjadi yang terbaik diatas pentas yang terbaik dalam batasan baik penampilan melalui kostum dan make up yang membuat mereka menjadi cantik atau ganteng hal ini akan mendangkalkan pemikiran mereka dan jelas akan menimbulkan sebuah pemikiran bahwa teater adalah produk budaya praktis bukan produk budaya proses, padahal pada dasarnya proses ini lah yang di cetuskan oleh Aristotels yaitu seni adalah Katarsis, proses pencarian bentuk untuk menjadikan teater sebuah pertunjukan dari bentuk latihan, penggagasan hingga penciptaan artistik, penciptaan adegan, dan kecerdasan sutradara proses inilah yang akan menimbulkan katarsis dalam proses berkesenian.
Adorno dan Horkhaimer, secara tegas mengatakan industri budaya tetap dipandang sebagi industri hiburan yang dikendalikan langsung oleh  industri media turut menawarkan imaji-imaji palsu. Masyrakat mencari kepuasan melalui konsumsi semu, kebahagiaan ilutif serta keindahan palsu yang  ditopang industri  kebudayaan (cultural industry) memanipulasi masyarakat yang tak sekadar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk industri,
            Dalam sejarahnya kabaret pertama dibuka pada 1881 di Montmartre, Paris Rodolphe Salís "cabaret artistique." Tak lama kemudian setelah tempat itu dibuka, namanya diganti menjadi Le Chat Noir (Kucing Hitam). Kabaret ini menjadi tempat para seniman kabaret pendatang baru dapat mencoba pertunjukan-pertunjukan mereka di depan teman-teman mereka sebelum dibawakan di depan penonton. Tempat ini mengalami sukses besar, dikunjungi oleh orang-orang penting pada masa itu, seperti Alphonse Allais, Jean Richepin, Aristide Bruant, dan orang-orang dari berbagai bidang kehidupan kaum perempuan dari kelas atas, para wisatawan, bankir, dokter, wartawan, dll. Chat Noir adalah tempat di mana mereka dapat melupakan pekerjaan mereka. Pada 1887, kabaret ditutup karena situasi ekonomi yang buruk yang membuat pertunjukan-pertunjukan seperti ini menjadi vulgar.
            Vulgar yang diciptakan kabaret berbeda dengan vulgar yang dilukiskan dalam seni pantomime pada masa lalu, pantomime menciptakan bentuk satir pada penguasa atau pemerintah dengan ceritanya, menampilkan adegan yang memancing gelak tawa dengan mimik wajah dan getur para pelakunya, dimaksudkan pada kekuasaan penguasa yang kapitalis atau diktator sementara vulgar yang ditampilkan dalam kabaret pada masa lampau adalah bentuk yang menuju pada pornografi dengan menapilkan penari yang seksi dan memiliki komposisi tubuh yang baik, itu pula tidak terhindarkan dalam pertunjukan kabaret pada masa kini, dalam sebagai reverensi dalam Festival seni Teater dan Kabaret yang di gelar oleh SMAN 1 Kota Sukabumi ditampilkan di Gedung Juang Sukabumi, banyak sekali kelompok kabaret yang menampilkan adegan berpelukan atau ciuman yang berlebihan, ini semua dianggap sebagai adegan sederhana oleh para pemerannya yang merupakan siswa-siswi SMA, ini akan menciptakan sebuah paradigma negatif yang dianggap positf oleh penonton, hingga mereka tidak ragu untuk menampilkan adegan tersebut di pertunjukan kabaret yang kelak akan mereka ciptakan
Adegan kabaret
 
0906kabaret.jpg

            Kabaret berhasil menghipnotis para penggiatnya menjadi budak budaya praktis, yang selalu mementingkan hasil akhir dalam sebuah pertunjukan bukan dari prosesnya, terlebih kabaret berhasil menciptakan ruang delusi yang besar pada teater yang menjadikan mereka apatis pada estetika teater atau seni teater murni mengalami degradasi nilainya, masarakat lambat laun  akan terbiasa dengan kabaret yang mereka anggap itulah teater yang hakiki, penciptaan ini juga didukung oleh media dan kaum borjuis yang selalu mendukung penyelenggaraan adanya pertunjukan kabaret, di kota Bandung saja penyelanggaran pertunjukan kabaret oleh siswa SMA memiliki rata-rata yang tinggi dibanding dengan pertunjukan teater, walaupun itu semua demi kepentingan kuantitas bukan kualitas. Penyelenggaran festival kabaret di Bandung di selenggarakan hampir lebih dari 10 Festival dalam satu tahun yang bertaraf Jawa Barat, dan festival ini dilaksanakan oleh instasi sekolah, tidak seperti teater yang amat sangat sulit mencari sponsor untuk membentuk sebuah festival teater, festival teater yang baik dan terorganisis hingga bertaraf Jawa Barat biasanya hanya bisa diselenggarakan oleh instansi perguruan tinggi seni atau pemerintah dalam bidang pembinaan seni dan budaya saja yang dalam satu tahun mungkin hanya ada sekitar 4 festival ini semua akan memberikan dampak besar untuk kemajuan Kabaret dan kemunduran teater itu sendiri.
Poster Festival Kabaret SMA 7  Bandung
 
12357_596225050423160_252725248_n.jpg
 








Semakin sulit sesuatu diproduksi semakin mulialah dia. Semakin mudah sesuatu diproduksi semakin menguntungkan. Tesis yang tersirat dalam tulisan Adorno dan Horkheimer ini mendasari asumsi bahwa profit industri merupakan penggerak utama budaya massa. Gejala yang muncul adalah produksi budaya secara besar-besaran yang didasarkan pada kemudahan dan keuntungan industri dengan dalih kepentingan khalayak. Adorno dan Horkheimer menegaskan hal dengan mengatakan:
If one branch of art follows the same formula as one with a very different medium and content; if the dramatic intrigue of broadcast soap operas becomes no more than useful material for showing how to master technical problems at both ends of the scale of musical experience – real jazz or a cheap imitation; or if a movement from a Beethoven symphony is crudely “adapted” for a film sound-track in the same way as a Tolstoy novel is garbled in a film script: then the claim that this is done to satisfy the spontaneous wishes of the public is no more than hot air.
            Pernyataan Ardono dan Horkheimer ini teraplikasi dalam pertunjukan kabaret yang sampai hari ini masih digandrungi oleh kaula muda di Jawa Barat atau lebih tepantnya di Bandung, walau dalam penyajiaannya kabaret sering kali berkamuflase dengan tema-teama yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya daerah, ini semua hanya jalan yang diciptakan kabaret untuk menyentuh seluruh masyarakat umun, dan pada akhirnya akan memarginalkan seni teater sesungguhnya, hingga proses industri budaya kabaret akan diterima diseluruh lapisan masyarakat dan teater menjadi teralienasi hingga pada masanya akan hilang dengan sendirinya terganti oleh budaya poupuler yang merambah di masyrakat modern yang lebih menikmati budaya praktis karena pemikiran dikontaminasi jenis seni pertunjukan praktis tanpa proses panjang pencarian estetknya.

PENUTUP
            Pada hakektnya seni pertunjukan teater yang diisi oleh tarian, musik dan lagu-lagu telah dicipta pada masa teater klasik yaitu bentuk teater opera yang berkembang di peradaban teater barat, di Indonesia ada pula seni teater jenis ini berkembang pula namun dalam bentuk drama musikal, drama musikal memiliki bobot estetik yang lebih baik dibanding dengan kabaret, ada proses kratif yang disuguhkan dengan musik live, tarian dan lagu lagu yang dinyanyikan secara langsung ini membuat drama musikal memiliki levelitas tinggi untuk para aktornya yang mesti mampu menari, bernyayi dan berakting didukung dengan artistik yang menarik, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir drama musikal berkembang dengan pesat di Indonesia, begitu pua di Bandung dengan muncul pula Festival drama musikal seperti yang diselenggarakan oleh Teater Bel yang menyelenggarakan Festival Drama Musikal pelajar yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung, ini juga merupakan arus balik melawan terjangan kabaret yang semakin mehegemoni kaum muda di Kota Bandung.
            Drama musikal bisa menjadi alternarttif untuk menghentikan derasnya oengaruh kabaret di Indonesia sehingga para penggiat kabaret bisa berfikir lebih baik untuk meproduksi sebuah pertunjukan teater, sebuah pertunjukan yang lebih mengutamakan kualitas dibanding kauntitas, dan sebuah kesenia yang pada dasarnya menciptakan proses untuk pencapaian estetikanya.



Daftar Pustaka
http://indra-anwar.blogspot.com/2012/03/definsi-teater-dan-sejarah-teater.html
Kutha Ratna. Nyoman. 2010. Sastra dan Culture Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka    Pelajar; Yogyakarta
Santosa, Eko. Dkk. 2008. Seni Teater Jilid I Untuk Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Wastap.B.Jaeni. 2011. Diktat Kuliah Teori-Teori Kritis. Dipa STSI Bandung; Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahka masukan komentar anda!