Teori kritis Max
Horkheimer dalam Konteks Pragmatis Seni Teater
Berupa pertunjukan Kabaret
oleh : Achmad Dayari
Teori
Kritis
Teori
dalam sebuah penelitian jelas memiliki kedudukan yang sangat penting, melalui
teorilah objek penelitian dapat dipahami sebaik-baiknya, teori merupakan
jendela yang melaluinya objek dapat dilihat dengan jelas, teori merupakan
akumulasi konseptual sepanjang sejarahnya baik yang diperoleh secara revolusi
dan evolusi, teori pulalah yang mampu menjawab semua problematika yang ada
dalam penelitian meskipun demikian teori bukanlah segalanya teori tetap saja
hanya merupakan alat dan objeklah yang tetap menjadi bagian terpenting dari
penelitian objeklah yang menentukan teori apa yang akan digunakan bukan
sebaliknya. Dalam pradaban ilmu pengetahuan, dan teknologi yang semakin maju
munculah pemikiran-pemikiran yang mengkritisi kemajuan tersebut, pemikiran
kritis ini berorientasi pada pola pikir manusia dan keadaan sosial yang terjadi
dimanusia itu sendiri, teori kritis berusaha menghindari hilangnya kebenaran
yang telah dicapai oleh pengetahuan masa lalu.
Menurut Zaeni dalam diktat kuliah
teori-teori kritis mengatakan Max Horkeimer sekitar tahun 1930an mengemukakan
pada mulanya teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal medernitas
tentang nalar dan kebebasan dengan mengungkap devinisi dari ideal-ideal itu
modernitas tentang nalar dan ideal-ideal itu tentang bentuk saintisme,
kapitalisme, industri kebudayaan dan istitusi politik borjuis.
Teori Kritis secara subtansif tidak memerdulikan
prinsip-prinsip umum. Tidak pula berupaya membentuk sebuah sistem ide,
melainkan berusaha untuk memberikan kesadaran untuk membebaskan manusia dari irasionalisme.
Karenanya, fungsi dari Teori Kritis adalah emansipatoris yang bersifat
iluminatis. Hal ini jelas berbeda dengan padangan kaum tradisonalis yang
memisahkan fakta dengan nilai dan hanya menganalisis fakta-fakta sosial atas
dasar hukum yang metodis, dan hal tersebut melahirkan sifat yang anti-histori, memutlakan ilmu
pengetahuan dan menegasi individu dalam dialektika historisnya dengan kata lain tidak
memikirkan implikasi tertentu karena memisahkan teori dan praksis.
Tujuan teori kritis adalah untuk
mengidentifikasi dan mengatasi semua keadaan yang membatasi keadaan manusia.
Tujuan tersebut hanya dapat ditindaklanjuti melalui penelitian interdisiplin
yang mencakup dimensi psikologis, budaya dan sosial serta bentuk-bentuk
kelembagaan dominasi. (Zaeni, 2011:3) teori kritis mampu brbicara banyak
mengenai unsur-unsur kebudayaan, yang salah satunya adalah seni, seni tidaklah
tunggal itulah sebabnya membacaan kembali terhadap seni harus dilakukan karena
pula pembacaan terhadap seni memungkinkan didasarkan oleh teori yakni
seperangkat keyakinan tentang apa maknannya. Karnya seni merupakan komleksitas
pemikiran seniman yang didalamnya terdapat pemikiran-pemikiran untuk membentuk
struktur-strukturnya, struktur ini berasal dari pengalaman psikologis dan
sosiologis sang seniman, disinilah teori kritis mampu ikut campur.
Teater
dan Kabaret
Pengalaman seniman dalam mencari
bentuk untuk karya seninya merupakan hasil observasi yang seniman lakukan demi
mendapatkan bentuk karyanya, baik dalam seni pertunjukan, teater tari, musik,
seni rekam, sastra dan rupa, pemerolehan ide gagasan dalam pembantukan karya
seni melalui proses panjang yang membutuhkan pembacaan pada keadaan sosial dan
fenomana yang terjadi dialamnya sehingga hasil seni itu merupakan bentuk
fenomena itu sendiri atau dipengaruhi oleh fenomena itu dalam seni teater ini
pun terjadi, teater yang menjadikan verbal menjadi penutur utamanya. teater
dalam bentuknya rentan dikuasai oleh redusisasi betuk, pragmatis yang menuju
pada kapitalisme ini semua harus dikembalikan pada tataran kebenaran dan
normatif.
Salah
satu bentuk pragmatisasi seni teater adalah kabaret
dalam bentuk penyajiannya kabaret lebih condong pada tarian, musik, dan gerak
karikatural yang berlebihan, kabaret berkembang dengan pesat di kota Bandung di
kalangan pelajar sekolah menengah pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA)
dan mahasiswa, Bandung yang merupakan kota berpenduduk yang kreatif dalam
bidang seni atau industri kreatif lainnya banyak sekali menghasilkan produk
kesenian yang menarik namun dibalik kemenarikan seni tersebut banyak sekali
seni yang dikreasi melampaui batas. Kabaret menjadi salah satu produk itu,
kabaret banyak menghilangkan nilai estetik dalam teater sesungguhnya yang telah
dibangun semenjak beratus tahun yang lalu.
Pemikiran
Kritis Max Horkheimer
Max
Horkheimer lahir pada 14 Februari 1895 di Zuffenhausen di dekat Stutggart
Jerman. Ayahnya Moritz (Moses) Horkheimer mendidik dengan keras dan cenderung
otoriter, Max memiliki seorang sahabat yang sembilan
tahun lebih tua darinya yaitu Friedrich Pollock seorang anak pengusaha Yahudi,
berkat pertemuan ini Max menyukai bidang seni, suatu bidang yang baru baginya
dan dari pengaruh Pollock pula
Max menyukai bidang filsafat sehingga Max masuk ke Frangfurt School
Setelah
berada di Frangfurt School Max pun dipercaya untuk mengelola The Frangfurt
Institue For Sosial Reaserch (Institute fur Sozialforsschung) oleh sentuhan Max
lembaga ini menemukan bentuknya terutama saat Max menjabat sebagai direktur
(1931-1958) pada usia muda yaitu 35 tahun, Max selalu mengambil keputusan
penting agar institut ini tetap eksis dan selalu mengupayakan agar
pemikiran-pemikiran dalam institut tidak terkooptasi kepentingan politik
manapun, sebuah keputusan yang mungkin juga tangtangan sekelompok intelektual
yang tidak lazim khususnya pada periode 1923-1950, seklaipun Max menekuni
disiplin keilmuan yaitu kebudayaan dan filsafat tetapi The Frangfurt Institue
For Sosial Reaserch (Institute fur Sozialforsschung) diperkuat oleh ilmuan
dengan beragam latar belakang (Filsafat, Psikologi, Sosiologi dan Sastra) peran
penting Max yakni memikirkan dan memfasilitasi pengungsian ke Universitas
Columbia New York sampai akhirnya mereka kembali ke Jerman tahun 1949.
Pada
saat Max menjadi mahasiswa di Universitas Jerman, Hans Comelius adalah guru
yang sangat inspiratif karena memiliki daya kritis yang luar biasa, dari
gurunya itu Max mendapat tugas untuk menganalisa buku Immanuel Khant yang
berjudul “Critique of Judgement. Dari situlah hubungan Max dan Comelius semakin
akrab dan mebuat Max menaruh perhatian pada teori kritis, Max sangat
tergila-gila dengan pemikiran Kant, Hegel dan Karl Mark.
Max memulai teori kritisnya dengan
pertanyaan-pertanyaan “Dapatkan teori
rasional tentang diri manusia dalam lingkungannya?”,”Bagaimanakah teori ini
menjadi emansipatoris?”, manakah teori yang mampu mengembalikan manusia menjadi
rasional kembali?”,”Dimana martabat dan kepenuhan individu dapat terpenuhi?”
dari pertanyaan-pertanyaan tersebut Max kemudian berteori berbagai bidang
sosial dalam usaha menyadarkan manusia agar tidak terjerat proses kapitalisme
yang sedang memonopoli kemanusiaanya.
Max Horkheimer dalam teori kritisnya
berupaya untuk menyadarkan manusia agar tidak terjembab dalam kubangan
kapitalisme yang dianggapnya telah mereduksi manusia dan realitas itu sendiri
menjadi sesuatu yang sangat funsional, pragmatis dan pasif.
Teater
sebagai Seni yang Sakral
Teater
terbentuk dari proses peniruan manusia akan tingkah laku alam dan dirinya
sendiri, saat manusia belum mengenal tulisan
dan bentuk kesenian yang sesunggunya teater diawali oleh manusia-manusia dulu
ketika mereka menirukan tidak-tanduk binatang saat mereka berburu, manusia purba yang
berburu menyesuaikan
langkah kaki dengan hewan buruannya,
mekamuflase dirinya
dengan alam disekitar buruannya agar
tidak dicurigai oleh hewan buruannya, ini merupakan awal ide gagasan teater
muncul, teater adalah meniru
yang pada masa itu belum diakui dan disepakati sebagai jenis seni peran yang
diakui dan disepakati pada masa kini, pada pergerakannya teater terbentuk dari
upacara-upacara pemujaan bangsa yunani
pada dewanya, hal ini didasarkan temuan naskah
teater kuno di Yunani. Penulisnya Aeschylus yang hidup antara tahun 525-456 SM.
Isi lakonnya berupa persembahan untuk memohon kepada dewa-dewa. Bermula dari upacara keagamaan yang
dilakukan para pemuka agama, lambat laun upacara keagamaan ini berkembang,
bukan hanya berupa nyanyian, puji-pujian, melainkan juga doa dan cerita yang
diucapkan dengan lantang, selanjutnya upacara keagamaan lebih Menonjolkan penceritaan disitulah
tibul unsur teater, seperti dialog, narasi dll.
Kasim Achma mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara dimana teater tradisional lahir
macam-macam teater tradisional Indonesia adalah : wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
Kasim Achma mengatakan, sejarah teater tradisional di Indonesia dimulai sejak sebelum Zaman Hindu. Pada zaman itu, ada tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk mendukung upacara ritual. Teater tradisional merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut “teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur-unsur teater tersebut membentuk suatu seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat lingkungannya. Proses terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara dimana teater tradisional lahir
macam-macam teater tradisional Indonesia adalah : wayang kulit, wayang wong, ludruk , lenong, randai, drama gong, arja, ubrug, ketoprak, dan sebagainya.
Munculnya
Kabaret sebagai bentuk teater yang pragmatis
Istilah kabaret berasal dari sebuah
kata berbahasa Prancis untuk ruangan bar atau cafe yang merupakan tempat
lahirnya hiburan ini, kata ini awalnya berasal dari bahasa Belanda tengah
“Cabret”, bahasa Prancis utara kuno “Camberrete dan dari bahasa latin “camera”
yang pada intinya meiliki makna “Ruangan kecil”, kabaret juga merujuk ke rumah
bordil gaya Mediterania, bar dengan meja-meja dan wanita-wanita yang berbaur serta menghibur
para pengunjung bar tersebut sering juga ditambah dengan hiburan seperti tari-tarian tergantung tempatnya masing-masing, sifatnya dapat liar dan kasar
|
Bentuk
pertunjukan kabaret di Indonesia berkembang pesat di daerah Jawa Barat khusunya
di wilayah Bandung, bentuk kabaret di Bandung memiliki ciri secara umum dari
audio mixing musik terjadinya pengabungan antara sound fx, potongan iklan,
potongan dialog film, potongan pertunjukan seni seperti wayang, ilustrasi musik
dan yang paling menonjola dalah dari bentung dialog yang direkam atau lipyinc
semua itu digabungkan dalam sebuah rekaman, dalam tata pentasnya kabaret
menggunakan artistik panggung layak pertunjukan teater konvesional namun dibuat
lebih sederhana sampai terkesan seadanya. Kelompok kabaret di Bandung di
dominasi oleh pelajar usia SMA atau SMP namun tidak menutup kemungkinan
mahasiswa dan masyarakat umumpun banyak yang bergeliat dalam kabaret ini,
Kabaret
menjadi sebuah industri budaya pragmatis yang mengucilkan estetika teater yang
sesungguhnya yang dibangun sejak lama, kabaret merupakan proses pasif para
penikmatnya, mereka mencoba menghindar dari komleksitas sebuah pertunjukan seni
teater yang merupakan tingkat kecerdasan para penggiatnya, bentuk pragmatis ini
mencoba menghindar dari tata artistik yang baik dan tata pentas yang baik yang
selalu terbangun dari pertunjukan teater, kabaret amat sangat menurunkan
setandarisasi pertunjukan seni teater sesungguhnya, sehingga menimbulkan bentuk
dangkal dalam sebuah seni pertunjukan, ini semua demi mengejar kepragmatisan
sebuah seni teater, mengejar konsumsi publik, dan popularitas hingga
menciptakan kapitalisme produk kesenian, Inilah
yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer sebagai muslihat besar. Sebagai dosa
masa lalu atas kuasa rasio teknologi, individu justru kehilangan basis otonomi
dan kendali atas dirinya. Dengan “pencerahan” justru masyarakat diposisikan
seolah-oleh sebagai subjek, padahal mereka adalah objek dalam
perspektif ini, budaya tidak lagi lahir dari masyarakat sebagaimana yang
dipahami dalam konsep ”mass culture,” namun diproduksi dan direproduksi
oleh kaum kapitalis atau penguasa dan pemilik modal (borjuasi) untuk meraup
keuntungan. Ilusi-ilusi yang mengiring semangat (sprit) “pencerahan” sebagai
ekspresi kebebasan atau emansipatoris justru jangan dilihat secara kasat mata.
Didalamnya penuh tendensi kepentingan, yaitu ekonomi politik (baca: kekuasaan kelas borjuasi).
|
Pertunjukan
kabaret yang meluas di Kota Bandung khususnya berhasil mengikat para
penikmatnya yaitu kaum muda dalam lingkaran star
syndrom, menciptakan mereka terus berpikir untuk menjadi yang terbaik
diatas pentas yang terbaik dalam batasan baik penampilan melalui kostum dan
make up yang membuat mereka menjadi cantik atau ganteng hal ini akan
mendangkalkan pemikiran mereka dan jelas akan menimbulkan sebuah pemikiran
bahwa teater adalah produk budaya praktis bukan produk budaya proses, padahal
pada dasarnya proses ini lah yang di cetuskan oleh Aristotels yaitu seni adalah
Katarsis, proses pencarian bentuk
untuk menjadikan teater sebuah pertunjukan dari bentuk latihan, penggagasan
hingga penciptaan artistik, penciptaan adegan, dan kecerdasan sutradara proses
inilah yang akan menimbulkan katarsis dalam proses berkesenian.
Adorno dan Horkhaimer, secara tegas
mengatakan industri budaya tetap dipandang sebagi industri hiburan yang
dikendalikan langsung oleh industri media turut menawarkan imaji-imaji
palsu. Masyrakat mencari kepuasan melalui konsumsi semu,
kebahagiaan ilutif serta keindahan palsu yang ditopang industri
kebudayaan (cultural industry) memanipulasi masyarakat yang tak sekadar
berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artefak budaya sebagai produk
industri,
Dalam sejarahnya kabaret pertama dibuka pada 1881 di
Montmartre, Paris Rodolphe Salís
"cabaret artistique." Tak lama kemudian setelah tempat itu dibuka,
namanya diganti menjadi Le Chat Noir
(Kucing Hitam). Kabaret ini menjadi tempat para seniman kabaret
pendatang baru dapat mencoba pertunjukan-pertunjukan mereka di depan
teman-teman mereka sebelum dibawakan di depan penonton. Tempat ini mengalami
sukses besar, dikunjungi oleh orang-orang penting pada masa itu, seperti Alphonse Allais, Jean Richepin, Aristide Bruant,
dan orang-orang dari berbagai bidang kehidupan kaum perempuan dari kelas atas,
para wisatawan, bankir, dokter, wartawan, dll. Chat Noir adalah tempat
di mana mereka dapat melupakan pekerjaan mereka. Pada 1887, kabaret ditutup karena
situasi ekonomi yang buruk yang membuat pertunjukan-pertunjukan seperti ini
menjadi vulgar.
Vulgar
yang diciptakan kabaret berbeda dengan vulgar yang dilukiskan dalam seni
pantomime pada masa lalu, pantomime menciptakan bentuk satir pada penguasa atau
pemerintah dengan ceritanya, menampilkan adegan yang memancing gelak tawa
dengan mimik wajah dan getur para pelakunya, dimaksudkan pada kekuasaan
penguasa yang kapitalis atau diktator sementara vulgar yang ditampilkan dalam
kabaret pada masa lampau adalah bentuk yang menuju pada pornografi dengan
menapilkan penari yang seksi dan memiliki komposisi tubuh yang baik, itu pula
tidak terhindarkan dalam pertunjukan kabaret pada masa kini, dalam sebagai
reverensi dalam Festival seni Teater dan Kabaret yang di gelar oleh SMAN 1 Kota
Sukabumi ditampilkan di Gedung Juang Sukabumi, banyak sekali kelompok kabaret
yang menampilkan adegan berpelukan atau ciuman yang berlebihan, ini semua dianggap
sebagai adegan sederhana oleh para pemerannya yang merupakan siswa-siswi SMA, ini akan menciptakan sebuah paradigma negatif
yang dianggap positf oleh penonton, hingga mereka tidak ragu untuk menampilkan
adegan tersebut di pertunjukan kabaret yang kelak akan mereka ciptakan
|
Kabaret berhasil menghipnotis para penggiatnya menjadi
budak budaya praktis, yang selalu mementingkan hasil akhir dalam sebuah
pertunjukan bukan dari prosesnya, terlebih kabaret berhasil menciptakan ruang
delusi yang besar pada teater yang menjadikan mereka apatis pada estetika teater
atau seni teater murni mengalami degradasi nilainya, masarakat lambat laun akan terbiasa dengan kabaret yang mereka
anggap itulah teater yang hakiki, penciptaan ini juga didukung oleh media dan kaum
borjuis yang selalu mendukung penyelenggaraan adanya pertunjukan kabaret, di
kota Bandung saja penyelanggaran pertunjukan kabaret oleh siswa SMA memiliki
rata-rata
yang tinggi dibanding dengan pertunjukan teater, walaupun itu semua demi
kepentingan kuantitas bukan kualitas. Penyelenggaran festival kabaret di Bandung
di selenggarakan hampir lebih dari 10 Festival dalam satu tahun yang bertaraf
Jawa Barat, dan festival ini dilaksanakan oleh instasi sekolah, tidak seperti
teater yang amat sangat sulit mencari sponsor untuk membentuk sebuah festival
teater, festival teater yang baik dan terorganisis hingga bertaraf Jawa Barat
biasanya hanya bisa diselenggarakan oleh instansi perguruan tinggi seni atau
pemerintah dalam bidang pembinaan seni dan budaya saja yang dalam satu tahun
mungkin hanya ada sekitar 4 festival ini semua akan memberikan dampak besar
untuk kemajuan Kabaret dan kemunduran teater itu sendiri.
|
||||
Semakin sulit sesuatu diproduksi
semakin mulialah dia. Semakin mudah sesuatu diproduksi semakin menguntungkan.
Tesis yang tersirat dalam tulisan Adorno dan Horkheimer ini mendasari asumsi
bahwa profit industri merupakan penggerak utama budaya massa. Gejala yang
muncul adalah produksi budaya secara besar-besaran yang didasarkan pada
kemudahan dan keuntungan industri dengan dalih kepentingan khalayak. Adorno dan
Horkheimer menegaskan hal dengan mengatakan:
If one branch of art follows the same formula as one with a
very different medium and content; if the dramatic intrigue of broadcast soap
operas becomes no more than useful material for showing how to master technical
problems at both ends of the scale of musical experience – real jazz or a cheap
imitation; or if a movement from a Beethoven symphony is crudely “adapted” for
a film sound-track in the same way as a Tolstoy novel is garbled in a film
script: then the claim that this is done to satisfy the spontaneous wishes of
the public is no more than hot air.
Pernyataan
Ardono dan Horkheimer ini teraplikasi dalam pertunjukan kabaret yang sampai
hari ini masih digandrungi oleh kaula muda di Jawa Barat atau lebih tepantnya
di Bandung, walau dalam penyajiaannya kabaret sering kali berkamuflase dengan
tema-teama yang menjungjung tinggi nilai-nilai budaya
daerah, ini semua hanya jalan yang diciptakan kabaret untuk menyentuh seluruh
masyarakat umun, dan pada akhirnya akan memarginalkan seni teater sesungguhnya,
hingga proses industri budaya kabaret akan diterima diseluruh lapisan
masyarakat dan teater menjadi teralienasi hingga pada masanya akan hilang
dengan sendirinya terganti oleh budaya poupuler yang merambah di masyrakat
modern yang lebih menikmati budaya praktis karena pemikiran dikontaminasi jenis
seni pertunjukan praktis tanpa proses panjang pencarian estetknya.
PENUTUP
Pada hakektnya seni pertunjukan teater yang diisi oleh tarian, musik dan
lagu-lagu telah
dicipta pada masa teater klasik yaitu bentuk teater opera yang berkembang di
peradaban teater barat, di Indonesia ada pula seni teater jenis ini berkembang
pula namun dalam bentuk drama musikal, drama musikal memiliki bobot estetik
yang lebih baik dibanding dengan kabaret, ada proses kratif yang disuguhkan
dengan musik live, tarian dan lagu lagu yang dinyanyikan secara langsung ini
membuat drama musikal memiliki levelitas tinggi untuk para aktornya yang mesti
mampu menari, bernyayi dan berakting didukung dengan artistik yang menarik,
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir drama musikal berkembang dengan pesat di
Indonesia, begitu pua di Bandung dengan muncul pula Festival drama musikal
seperti yang diselenggarakan oleh Teater Bel yang menyelenggarakan Festival
Drama Musikal pelajar yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Rumentang Siang
Bandung, ini juga merupakan arus balik melawan terjangan kabaret yang semakin
mehegemoni kaum muda di Kota Bandung.
Drama musikal bisa menjadi
alternarttif untuk menghentikan derasnya oengaruh kabaret di Indonesia sehingga
para penggiat kabaret bisa berfikir lebih baik untuk meproduksi sebuah
pertunjukan teater, sebuah pertunjukan yang lebih mengutamakan kualitas dibanding
kauntitas, dan sebuah kesenia yang pada dasarnya menciptakan proses untuk
pencapaian estetikanya.
Daftar
Pustaka
http://indra-anwar.blogspot.com/2012/03/definsi-teater-dan-sejarah-teater.html
Kutha
Ratna. Nyoman. 2010. Sastra dan Culture
Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Pustaka Pelajar; Yogyakarta
Santosa,
Eko. Dkk. 2008. Seni Teater Jilid I Untuk Sekolah Menengah Kejuruan.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Wastap.B.Jaeni.
2011. Diktat Kuliah Teori-Teori Kritis.
Dipa STSI Bandung; Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahka masukan komentar anda!