Selasa, 01 Desember 2015

CATATAN DULU DI SEKOLAH ITU



               Seorang sahabat, bekerja sebagai pelatih teater dan guru honor di kota Bogor, sama persis dengan pekerjaanku dulu di Sukabumi, bedanya aku mengajar di sekolah negeri sahabatku ini disekolah swasta, dan yang membedakannya lagi adalah kesejahtraan hidup yang sahabatku terima di sekolahnya.
Aku memilih keluar dari sekolah tempatku bekerja karena memang rencana semenjak dulu, melihat perkembangan diri dalam kualitas ekonomi yang tak kunjung membaik dan pertikaian yang menjijikan dengan Pembina ekstrakulikuler teater, Bekerja sebagai guru honor hanya digaji ratusan ribu, apalagi menjadi pelatih ekstrakuliker, walau prestasi kerap aku raih dengan ektrakulikuler teater disekolah itu, tetap saja  para penguasa sekolah itu tidak bergeming dengan memberikan bonus atau apalah berupa materi, bukan berbicara ikhlas atau tidak ikhlas dalam mendidik tapi durasi hampir 8 tahun sudah pasti aku kategorikan ikhlas, nah ini berbanding terbalik dengan yang sahabatku dapatkan dikota Bogor, dia diangkat menjadi Pembina seni sekaligus penanggung jawab kesenian disekolahnya mengajar, hanya dalam durasi sekitar 3tahun mengajar ektrakulikuler dia telah memberikan prestasi yang baik untuk sekolahnya, hal tersebut langsung diapresiasi sekolah dengan meberikan tunjungan, bonus dan lain-lain.
                Catatan ini bukan ingin menunjukan kehebatan satu pihak atau lainnya, atau pula melakukan perbandingan, tapi sebenarnya saya mengkaji apa yang terjadi dari gejala ini semua, apakah letak geografis, tata hidup, lingkungan, dan pendidikan mempengaruhi  pola pikir manusia ? saya jawab itu mempengaruhi, jika kita hidup dalam lingkungan pembunuh pastilah suatu saat kita bisa membunuh, begitu pula dalam fenomena ini, tempat saya tinggal dan bekerja dulu adalah lingkungan guru-guru yang tujuannya bukan hanya mendidik tapi ada tujuan lain yang bersifat material, system “nu kolot nu lewih bener” masih berlaku disekolah itu, cara berpikir yang monoton, seperti tidak menerima kritikan, tidak mau diajak berdiskusi, tidak pernah mau mengakui kesalahan adalah cara berpikir manusia disana. Berbeda dengan di kota kawan saya tinggal, orang-orang disini dominan adalah orang-orang yang mau belajar menerima kesalahan, mau diskusi, dan siap  menerima  kritikan, sehingga mereka tumbuh menjadi manusia dinamis dan kehidupannya menjadi harmonis, hilanglah penindasan terhadap kaum lemah.
                Sementara sampai saat ini, di daerah saya mengajar dulu, rekan kerja saya semua hampir bersifat konvesional negatif, hal ini ditunjukan dalam tidak tanduk, ucap dan lakunya, baik yang berada dibawah maupun diatas jabatanya, padahal mereka semua manusia berpendidikan, kuliahnya hingga S2. Berarti saya menyalahkan lingkungan yang merusak pola pikir mereka, mereka mencoba mimikri dengan lingkunganya hingga mereka ingin diakui keberdaanya dalam lingkungan tersebut, setelah diakui mereka menjadi penguasa dan siap menindas yang kecil.
                Disayangkan manusia-manusia ini adalah manusia yang enggan belajar dari kesalahan, atau mengakui kesalahan, manusia ini manusia yang serakah tanpa berpikir manusia lain, menyedihkan tinggal lama dalam lingkungan yang hampir saja merusak pola pikir dalam diri ini, menjadi berbeda selalu lebih baik dibanding sama dan begitu-begitu saja, kita berbeda dan mencoba merubahnya.

“Lebih baik diasingkan daripada meneyerah pada kemunafikan” (Soe Hok Gie)