Senin, 11 Juni 2012

Tentang elegi musim panas


Tentang Eleagi musim panas

Membaca dalam rangka mencoba untuk memahami lakon elegi musim panas karya candra kuda pawana seperti cermin dalam kesendirian yang menggantung dalam kesendirian, pada saat tubuh kita disetubuhi rumput liar sementara orang- orang sibuk diluar dengan berjuta aktivitasnya seakan mengasingkan , aku begitu tergoda,  sedikit keberanian yang boleh jadi sangat diipaksakan, memaksa kita untuk berdiri dihadapan cermin, kejujuranpun datang dan berkata kita sedang “sakit” terasa pahit bagi kita untuk memandangnya. Maka, seandainya refleksi diri ini berhasil mengatasi kebisuan “dunia batin” dengan segenap perlambangan visual dan non visual serta estitika yang tersimpan dalam setiap lakon, sesunguhnya  lakon adalah cerminan sosial bagi lingkunganya. 
Kelopak metafora dari untaian kata-kata sastra, nyatalah bahwa intens dan teolog sebuah lakon semestinya menukik tajam kearah penyingkapan hingga lapis-lapis paling dalam akan makna kebenaran dimana didalamnya manusia menjadi pelaku yang sebenarnya dengan segenap keagungan deritanya, diatas kebun obyektif yang dibumbui subyektivitas.
Elegi musim panas karya Candra kudapawana, membawa kita pada memori romansa yang halus dan penuh keuinikan namun diringi emosi beralaskan sandiwara, manusia pada zaman sekarang ini telah sejak lama mengalami revolusi  oleh kesadaran palsu yang meyelimuti seluruh esensi dari realitas sosial melalui proses ide secara besar-besaran dan menjadikan manusia tak ubahnya seonggok materi tanpa jiwa, tanpa perasaan, pemberhalaan total terhadap materi itu terbukti pada prilaku niki yang menjadi salah satu aktor antagonis, yang bisa mengetepikan pada perubahaan  budaya yang mengakibatkan manusia masuk kedalam kubangan segala macam kemunafikan, keterpecahaan kepribadiaan keserakahan, ambisi yang menghalalkan segala cara, Niki tidak mengalami dirinya sebagai pengemban aktif kekuatan-kekuatan miliknya namun melainkan sebagai “benda” yang miskin dan tergantung pada kekuatan diluar dirinya, Niki menjadi korban  eksklusif yang mengatasnamakan nafsunya untuk memburu uang dan termakan oleh ambisi-ambisi materi. Dalam naskah ini sudah jelas uang telah menjadi berhala yang disembah sebagai proyeksi dari salah satu kekuatan yang terpisah dari dalam di dirinya, yakni kerasukan Niki pada naskah ini hingga melacurkan harga dirinya.

ADE SUHANDA
ANGGOTA BUMI SANDIWARA

Rabu, 06 Juni 2012


Eleagi Musim Panas
Membaca dalam rangka mencoba untuk memahami lakon elegi musim panas karya candra kuda pawana seperti cermin dalam kesendirian yang menggantung dalam kesendirian, pada saat tubuh kita disetubuhi rumput liar sementara orang- orang sibuk diluar dengan berjuta aktivitasnya seakan mengasingkan , aku begitu tergoda,  sedikit keberanian yang boleh jadi sangat diipaksakan, memaksa kita untuk berdiri dihadapan cermin, kejujuranpun datang dan berkata kita sedang “sakit” terasa pahit bagi kita untuk memandangnya. Maka, seandainya refleksi diri ini berhasil mengatasi kebisuan “dunia batin” dengan segenap perlambangan visual dan non visual serta estitika yang tersimpan dalam setiap lakon, sesunguhnya  lakon adalah cerminan sosial bagi lingkunganya. 
Kelopak metafora dari untaian kata-kata satstra, nyatalah bahwa intens dan teolog sebuah lakon semestinya menukik tajam kearah penyingkapan hingga lapis-lapis paling dalam akan makna kebenaran dimana didalamnya manusia menjadi pelaku yang sebenarnya dengan segenap keagungan deritanya, diatas kebun obyektif yang dibumbui subyektivitas.
Elegy musim panas karya candra kuda pawana, membawa kita pada memori romansa yang halus dan penuh keuinikan namun diringi emosi beralaskan sandiwara, manusia pada zaman sekarang ini telah sejak lama mengalami revolusi  oleh kesadaran palsu yang meyelimuti seluruh esensi dari realitas sosial melalui proses ide secara besar-besaran dan menjadikan manusia tak ubahnya seonggok materi tanpa jiwa, tanpa perasaan, pemberhalaan total terhadap materi itu terbukti pada prilaku niki yang menjadi salah satu aktor antagonis, yang bisa mengetepikan pada perubahaan  budaya yang mengakibatkan manusia masuk kedalam kubangan segala macam kemunafikan, keterpecahaan kepribadiaan keserakahan, ambisi yang menghalalkan segala cara, niki tidak mengalami dirinya sebagai pengemban aktif kekuatan-kekuatan miliknya namun melainkan sebagai “benda” yang miskin dan tergantung pada kekuatan diluar dirinya, niki menjadi korban  eksklusif yang mengatasnamakan nafsunya untuk memburu uang dan termakan oleh ambisi-ambisi materi. Dalam naskah ini sudah jelas uang telah menjadi berhala yang disembah sebagai proyeksi dari salah satu kekuatan yang terpisah dari dalam di dirinya, yakni kerasukan niki pada naskah ini hingga melacurkan harga dirinya.


Penulis  ade