PENGERTIAN TEATER
Teater
berasal dari kata Yunani “Theatron” yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala
hal yang dipertunjukan di depam orang banyak, namun teater selalu dikaitkan
dengan kata drama yang berasal dari kata Yunani kuno “Draomai” dari penjelasan
diatas dapat disimpilkan bahwa istilah “Teater” berkaitan langsung dengan
pertunjukan sedangkan “Drama” berkaitan dengan lakon atau naskah cerita yang
akan dipentaskan, jadi teater adalah visualisasi dari drama atau drama yang
dipentaskan diatas panggung dan disaksikan oleh penonton jika drama adalah
lakon dan teater adalah pertunjukan maka drama merupakan bagian atau salah satu
unsur dari teater.
Menurut
Eko Santoso di Indonesia pada tahun 1920an belum muncul istilah teater yang ada
hanya Tonil atau Sandiwara, Toneel berasal dari bahasa belanda “Het Tonnel” istilah sandiwara konon ditemukan oleh Sri
Paduka Mangkunegara VII dari Surakarta, kata Sandiwara berasal dari bahasa Jawa
“Sandi” berarti Rahasia dan “Wara” atau “Warah” yang berarti Pengajaran menurut
Ki Hajar Dewantara “Sandiwara” berarti Pengajaran yang dirahasiakan atau dilakukan
dengan cara perlambangan Sampai pada masa Jepang dan awal kemerdekaan istilah
sandiwara masih sangat popular istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal
setelah zaman kemerdekaan, sebelum teater-teater modern muncul, di Indonesia
berkembang Teater-teater tradisi yang berkembang di masyarakat itu sendiri,
tidak di dalam gedung pertunjukan atau istana, banyak seni teater tradisi yang
dipertunjukan di halaman rumah atau di lapangan desa, seni teater ini
terkontaminasi oleh dramaturgi barat yang menciptakan teater menjadi ekslusif
di dalam gedung pertunjukan, seni teater pada masa dulu masih merakyat bersatu
dengan rakyat, hingga cerita yang dipertunjukannyapun tidak jauh dari sisi
kehidupan masyarakatnya, teater tradisi menajadi hiburan untuk menghilangkan
penat para penontonnya pada masa itu, pertunjukan teater rakyat baiasanya
bercirikan komedi dan karikatural, sehingga teater tradisi menjadi obat mujarab
untuk menghilangkan penat para penontonnya.
TEATER TRADISIONAL
Sejarah
teater Indonesia dimulai sejak sebelum zaman hindu, pada zaman itu, ada
tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk
mendukung upacara-upacara ritual, teater taradisional merupakan bagian dari
suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat istiadat dalam tata cara kehidupan
masyarakat kita. Pada saat itu yang disebut teater sebenarnya baru merupakan
unsur-unsur teater belum merupakan bentuk kesatuan teater yang utuh, setelah
melepaskan diri dari kaitan upacara, unsur teater tersebut membentuk suatu seni
pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat.
Proses terjadinya atau munculnya
teater tradisional di Indonesia sangat bervariasi dari satu daerah dengan
daerah lainnya hal ini disebabkan oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional
itu berbeda-beda, tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan
tatacara dimana teater tersebut lahir. Di Jawa Barat memiliki banyak sekali
ragam seni teater daerah, setiap bentuk kesenian ini memiliki bentuk dan tipe
pertunjukan yang berbeda-beda, beberapa jenis teater rakyat yang ada di Jawa
Barat menurut Jacob Sumardjo adalah Ubrug dari daerah Banten, topeng Banjet
dari daerah Karawang, Bekasi, Cisalak (Bogor), Longser dari daerah Parahyangan
(Subang, Bandung, dan sekitarnya) Sintren dari daerah Cirebon, Manoreh
(Manorek) dari wilayah Ciamis, Ronggeng Gunung berkembang di daerah pantai
wilayah Ciamis Selatan, Topeng Blantek terdapat di wilayah Jawa Barat bagian
selatan dan Uyeg dari Sukabumi.
TEATER “UYEG” SUKABUMI
Dilansir
dari Duniaart.com kesenian Uyeg yang sudah hilang hampir 470 tahun kembali
dipertunjukan di Gedung Pusat Kajian Islam (Islamic Center) lantai 2 jalan
Veteran No. 3 Sukabumi pada tahun 2010 dalam acara sosialisasi hasil
revitalisasi seni tradisional Uyeg dengan menampilkan cerita lawas yang
berjudul Sadar Ditatar Siluman dengan sutradara Cece Suhanda dan para pelaku
dari padepokan Rawayan pimpinan Wilang Sundakalangan.
Uyeg
Merupakan salah satu seni tradisi yang ada di daerah Sukabumi khususnya di
daerah selatan yaitu di pesisir pantai pelabuhan ratu, kesenian teater rakyat
ini sudah bisa di katakana puanah karena kesenian ini sudah lama sekali tidak
dipertunjukan di Sukabumi ataupun daerah lainnya apalagi sepeninggalnya pak
Anis Djati Sunda yang berhasil merevtalisasi seni teater rakyat ini hampir
tidak ada lagi kelompik kesenian di Sukabumi yang berinisiatif untuk mempertunjukan seni
teater rakyat ini, menurut Wilang Sundakalangan kesenian teater rakyat ini
sudah ada sejak masa kerajaan Sunda (Abad Ke 7 sampai 14) ketika itu digelar
sebagai bagian dari ritual seren taun (Pesta panen) untuk menghormati Dewi Sri
dan Guru Bumi namun terakhir kesenian ini ditampilkan pada tahun 1990 setelah
Anis melakukan pengumpulan data pada orang-orang yang mau melestarikan Uyeg
dari tahun 1978-1981, dari informasi
yang diperoleh pada tahun 1854 sempat dipentaskan oleh ayah Akung dari generasi
pertama yang mencoba mengangkat kesenian Uyeg, lalu oleh abah Ita sebagai
generasi keempat sekitar tahun 1957-1960 yang mulai mengangkatnya kembali,
sejak oleh ayah Akung sekitar tahun 1884 kesenian ini sudah berada di Sukabumi tapi
mulai dicanangkan sebagai kesenian khas Sukabumi baru tahun 1981 oleh Anis
Djatisunda
Berdasarkan Hipotesis Anis Djati
Sunda seni Teater Rakyat Uyeg
merupakan satu bentuk teater rakyat Jawa Barat yang masih memiliki ciri-ciri
dari pola struktur budaya nusantara yang mewarnai lambang tradisi megalitik,
terbukti dengan masih digunakannya warna hitam dan putih pada kain yang disebut
kelir, kain hitam putih ini merupakan simbol alam yaitu gambaran krisna-paksa
(Hitam) dan Sukhla-Paksa (Putih) yakni terkait dengan alam yang memiliki dua
unsur yang berbeda, bumi langit, atas bawah, laki-laki perempuan dan yang
lainnya dan kata Uyeg memiliki
filosofi bahwa Uyeg bersinonin dengan
kata Oyag artina bergerak pada
visualisasi pertunjuknnya kain kelir senantiasa digerak-gerakan saat
pertunjukan sebagai simbol bahwa hidup itu terus bergerak, dinamis tidak
setatis seperti pemikiran manusia.
Anis Djatisunda sebagai tokoh yang
berhasil merevitalisasi Uyeg Anis
mencoba menyandingkan kesakralan seni teater rakyat ini dengan kemajuan teater
modren, Anis memasukan dramaturgi barat dalam konsep pertunjuknnya, seperti
tangga dramatik, dan tata artistis serta tata cahaya, namun semua itu memiliki
batasan agar tidak merusak konsep sakral dari Uyeg itu sendiri. Seperti dalam naskah Uyeg yang Anis tulis inti cerita dari naskah ini adalahsadarnya dua
orang jagoan yang juga penjahat setelah diberi nasihat oleh siluman dalam
proses penampilannya banyak diselangi adegan humor.
Bentuk pertunuukan Uyeg pada dasarnya mirip dengan
pertunjukan seni teater rakyat Jawa Barat lainnya seperti longser, pada awal
pertunjukan sekelompok nayaga mengawali pertunjukan dengan tetabuhan bedug
dengan bunyi lambat yang semakin lama menjadi semakin cepat, bunyi-bunyi tersebut
disusul dengan bunyi kendang dan alat gamelan lainnya serta bunyi teropet yang
semakin memeriahkan suasana, seiring suara gamelan yang cepat sehelai kain yang
berwarna hitam dan putih sebagai backdrop digetarkan, ketika aluanan musik
melambat, munculah Raja Uyeg dari
balik kelir dengan dandanan seperti raja dalam cerita pewayangan tapi memakai
kaca mata hitam dan merokok kemudian raja Uyeg
menjadi simbol alam Uyeg dan sang
Rajapun memaparkan cerita Uyeg yang
akan ditampilkan.
Seni Teater Uyeg sama dengan teater rakyat yang lainnya perlu penelitian dan
pelestarian lebih lanjut demi menambah khazanah kesenian teater di Indonesia,
seni teater tradisi bisa menjadi sumber ide gagasan untuk penciptaan seni
teater modern yang selama ini kian berkembang, seni teater tradisi memiliki
ciri dan jatidiri yang mesti dikaji sehingga bisa dibaca juga pola pikir
orang-orang pada masa itu, baik pola pikir berkesianannya atau pola pikir
kehidupannya.
Daftar Pustaka
Santoso,
Eko. DKK, 2008, Seni Teater Jilid 1 untuk
SMK, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Sumardjo.
Jacob. 1992, Perkembangan Teater Modern
dan Sastra Drama Indonesia, Jakarta:
PT Citra Aditya Bakti
Duniaart.com
Nalan,
S, Arthur. 2006, Teater Egaliter, Bandung:
Sunan Ambu Press STSI Bandung
Mantep, harus terus di kembangkan, jangan sampai terkalahkan oleh budaya baru..
BalasHapushttp://inisukabumi.blogspot.com/2014/04/kesenian-tradisional-boles.html
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus