Simbol Pertunjukan Wayang Sukuraga
oleh : Achmad Dayari
Wayang
adalah salah satu seni pertunjukan teater tradisonal di Indonesia yang sangat
tua dan tidak dapat ditelusuri bagaimana asal mulanya dalam menyelusuri sejak
kapan ada pertunjukan wayang di Jawa, bisa ditemukan di dalam berbagai prasasti
pada jaman raja Jawa antara lain pada masa Raja Balitung, pada masa
pemerintahan raja Balitung telah ada petunjuk adanya pertunjukan wayang seperti
yang terdapat pada prasasti balitung dengan tahun 907 Masehi. Prasasti tersebut
mewartakan bahwa pada saat itu telah dikenal adanya pertunjukan wayang
Petunjuk
semacam itu juga ditemukan dalam sebuah kakawihan arjunawiwaha karya Mpu Kanwa, pada masa raja Airlangga dalam abad
ke 11. Maka dari itu pertunjukan wayang dianggap kesenian tradisi yang sangat
tua, sedangkan pada masa itu pertunjukan wayang belum jelas tergambar model
pementasannya
Menurut Eko
Santoso. Dkk. dalam buku Seni Teater jilid 1 awal mula adanya wayang yaitu saat
Prabu Jaya Baya ingin mengabadikan wajah para leluhurnya dalam bentuk gambar
yang kemudian dinamakan Wayang Purwa. Prabu Jaya baya berharap bisa mengenang
para leluhurnya yang merupakan para dewa atau manusia jaman purba, pada
mulainya gambar-gambar itu dilukis dalam Rontal
(daun tal) orang sering menyebutnya daun Lontar. Kemudian berkembang menjadi
wayang kulit seperti yang kita ketahui sekarang
Pada masa
kini kita tidak hanya mengenal wayang kulit, namun kita juga mengenal wayang
golek, wayang orang, wayang catur, bahkan dalam perkembangnnya wayang masa kini
menjadi beragam hasil pembaharuan oleh para senimanya, seperti di kota Bogor
ada wayang Bambu dan wayang Hihid, di Bandung tepatnya di Jurusan Seni Rupa
Universitas Pendidikan Indonesia ada wayang Cyber, dan ada pula wayang Suket
yang dipopulerkan oleh Slamet Gundono, serta wayang Sukuraga yang berkembang di
daerah Sukabumi, pada dasarnya beberapa bentuk wayang masih menganut pada
bentuk wayang kulit yaitu memainkan wayang oleh seorang dalang, dalang
tersebutlah yang menjadi membawa cerita disetiap pertunjukannya yang membedakan
dari wayang-wayang yang dimodifikasi oleh senimannya pada masa sekarang didominasi
oleh bentuk wayangnya dan cerita yang dilakonkan.
Banyak
sekali jenis-jenis wayang kontemporer pada masa kini yang berangkat dari
disiplin ilmu seni rupa, kita sebut saja Wayang Cyber dan Wayang Sukuraga namun
wayang Cyber lebih fokus terhadap bentuk siluet wayang atau dimensi wayang dalam
bayangannya yang diciptakan dari sinar OHP yang di pantulkan pada wayangnya sehingga
memberikan kesan berbeda dengan wayang-wayang yang lainnya sementara wayang
Sukuraga memiliki bentuk yang mirip dengan wayang kulit yang biasanya, namun
cerita dan bentuk wayang tersebut sangatlah berbeda, bentuk wayang Sukuraga
tercipta dari bentuk-bentuk tubuh manusia yang diproyeksikan menjadi wayang
(Boneka)
Wayang Sukuraga
Wayang
sukuraga diciptakan oleh seorang seniman yang bernama Fendi Sukuraga yang
berdiam di Jl. Sriwidari no 111 Kota Sukabumi, wayang ini sudah dikembangkan
semenjak tahun 1995, bermula dari pameran lukisannya di Institut Teknologi Mara
Malaysia (Sekarang UITM) lukisannya yang bertema Sukuraga “Peran-peran”
diartikan pelakon oleh apresiastor disana, semenjak saat itu Fendi berpikiran
bahwa sukuraga manusia adalah wayang, maka dalam proses kreatifnya Fendi
mengalihkan lukisan sukuraganya yang biasa tergambar dalam kanvas ke media
kulit dan dibentuk menjadi wayang, wayang-wayang ini bergamabarkan anggota tubuh
manusia (Sukuraga) seperti kaki, tangan, mata, hidung dan lain-lain,
Dalam
pertunjukan wayang Sukuraga diiringi oleh musik tradisi dan modern seperti alat
karawitan : kendang, saron, suling, karinding
dan alat modern seperti : gitar, keyboard, drum, biola. Pertunjukan
wayang sukuraga sering dikolaborasikan dengan tarian dan video art, pertunjukan
wayang Sukuraga biasanya ditampilkan untuk mengisi acara-acara kedinasan di
Kota Sukabumi, atau acara-acara komunitas, namun Sukuraga juga sering
mempertunjukan karyanya dalam kegiatan-kegiatan wayang seperti dalam kegiatan Gunungan
Internasional Wayang & Pupet Festival 2013 di kota Baru Parahyangan Bandung
pada tahun 2013
Lakon
wayang Sukuraga biasa dibentuk improvisasi oleh dalangnya yang selalu
diperankan oleh Fendi sendiri, lakon-lakonnya berkisar tentang kisah
kehidupannya nyata yang terjadi pada masa kini, menyinggung pada masalah
sosial, seperti korupsi, gaya hidup masyarakat dan kesenjangan-kesenjangan yang
terjadi dalam masyarakat sebagai apresiatornya. Durasi pertunjukan wayang
sukuraga biasanya berkisar dari satu sampai dua jam, dengan didominasi musik
yang kuat dalam pertunjukannya, dalang menjadi sutradara sekaligus pelakon
tunggal dalam pertunjukan wayang sukurga seperti dalam pertunjukan wayang kulit
atau wayang golek biasanya
Tokoh
Wayang Sukuraga sebagai Simbol
Tokoh-tokoh
dalam wayang Sukuraga adalah bagian bagian dari tubuh manusia atau Fendi
menyebutnya tubuh Sukuraga seperti hidung, mata, telinga dan kaki di tambah
dengan gunungan seperti dalam pertunjukan biasanya, gunungan ini menjadi
penafsiran sang Sukuraga atau Manusia, tubuh menurut Fendi adalah bagian yang mampu berucap dan
mengejawantahkan segala tindak-tanduknya, setiap bagian dalam tubuh adalah
cerminan manusia kelak, seperti dalam ajaran agama Islam, suatu hari nanti
tangan, mulut, mata, dan kaki akan mempertanggung jawabkan segala tingkahnya,
kemana kaki melangkah, apa yang dilakukan tangan, apa yang diucapkan mulut, apa
yang dilihat mata, suatu saat nanti akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan
yang Maha Kuasa setelah manusia meninggal dunia dan rohnya menghadap yang
Kuasa.
Simbol-simbol
yang diaplikasikan dari alat-alat indra manusia di wayang Sukuraga adalah
penggambaran tingkah polah manusia, hingga cerita yang dipertunjukanpun adalah
percakapan yang terjadi antara pihak-pihak ini, kaki yang becengkrama dengan
tangan, kaki dengan mata, dan yang lainnya, tokoh-tokoh ini membicarakan
tentang tingkah lakunya sendiri, higga membentuk sebuah cerita, mengenai tubuh
itu sendiri,
Bentuk
tubuh yang dibentuk dalam Wayang sukuraga tidaklah nyata seperti bentuk utuh
atau realis, namun Fendi membentuknya non realis, seperti tokoh hidung atau
mata, Fendi menggambarkannya menjadi bentuk yang memiliki kaki dan tangan namun
berkepala hidung atau mata ini ditafsirkan oleh Fendi bahwa Sukuraga (Tubuh)
mampu menjadi diri sendiri, memiliki kemampuan untuk memimipin dirinya sendiri,
Sukuraga
(Tubuh) yang pada hakikatnya dipimpin oleh pikiran digambarkan lain oleh Fendi,
seperti dalam cerita-cerita yng di pentaskannya, tokoh-tokoh dalam naskahnya
selalu bisa menjadi diri sendiri, menceritakan apa yang dilakukannya, ini adalah
interpretasi Fendi, manusia sering bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu,
manuasia banyak yang menjadi seperti binatang, bertindak hanya didasari hawa
nafsunya, sehingga banyak tindakan kaki, tangan, mulut, hidung dan mata diluar
kendali pikirannya, mereka seperti menjadi makhluk yang dipimpin oleh dirinya
sendiri, hingga tanpa pikirannya itu anggota sukuraga sering sekali bertikai
saling menyalahkan atau saling menuduh, merasa menjadi paling benar, namun
adakalnya dalam kisah-kisah yang dipertunjukan Wayang Sukuraga, anggota
Sukuraga ini memberikan pengajaran kepada apresiatornya atau Fendi lebih sering
menyebutnya berdakwah, tokoh-tokoh dalam wayang ini sering sekali memberikan kesadaran
bahwa apa yang dilakukan manusia banyak sekali yang salah, ketika kaki
melangkah di wilayah yang salah, mulut berbicara kasar atau menyakiti hati orang lain, tangan
digunakan dengan salah seperti korupsi, mencuri, memegang hal-hal yang tidak
baik, hal ini dilakukan Fendi sebagai bentuk berdakwah dalam kesenian, sehingga
apresiatornya menyadari apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya sendiri
terlebih dahulu, karena jika seorang manusia mampu memperbaiki dirinya sendiri
maka dengan mudah ia akan mampu memperbaiki orang lain, diri sendiri menjadi
sentral perbaikian, bukan orang lain, sibuk memperbaiki orang lain tanpa sadar
diri sendiri saja masih memiliki banyak kekurangan, kesadaran-keadaran ini
sering sekali digambarkan melalui dialog-dialog para tokohnya,
Keresahan-keresahan
Fendi yang digambarkan pada tokoh dalam wayang Sukuruga juga tampak dalam
warna-warna wayang tersebut, Fendi memberikan warna yang berani pada tokoh-tokohnya
seperti kuning, merah dan biru, hampir setiap tokoh memiliki beberapa warna
yang melekat di tubuhnya, ini juga menegaskan bahwa Fendi ingin menggambarkan
bahwa tokoh-tokoh ini adalah tokoh yang mampu berpendapat, yang biasanya dalam
diri manusia yang sesungguhnya anggota sukuraga (tubuh) ini selalu terdiam
kecuali mulut yang mampu mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran manusia, kaki, tangan, telinga, mata adalah anggota
bisu yang hanya biasa bergerak atau berlaku sesuai dengan keinginan pikiranya.
Warna-warna ini juga memberikan kesan kebingungan tokoh dalam bentuk, atau
pembuatnya ingin memberikan kesan bahwa wayang Sukuraga (Boneka) adalah tokoh
fiksi yang haya berupa wayang dengan cerita-cerita yang diangkat dari kehidupan
manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Santoso, Eko.
DKK, 2008, Seni Teater Jilid 1 untuk SMK,
Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahka masukan komentar anda!