PERTUNJUKAN TEATER “UCANG ANGGE”
Oleh : Achmad Dayari
Ucang-ucang angge
Mulung muncang ka parangge
Digogog ku anjing gede
Anjing gede nu pa lebe
Ari gog, gog cungungung
Lirik diatas adalah lirik Kakawihan sunda (lagu anak-anak)
yang biasa dinyayikan oleh orang tua pada anaknya, bentuk permainannya
adalah dengan posisi orang tua duduk diatas kursi atau tempat yang lebih
tinggi, anaknya duduk di kedua kaki ibu atau ayahnya lalu diayunkan sembari
dinyayikan lagu tersebut, permainan ini adalah simbol begitu dekatnya orang tua
khususnya ibu dengan anaknya, permainan ini mungkin pada hari ini jarang lagi
dimainkan oleh ibu dan anak. Sebagai sebuah permainan daerah, Ucang Angge memberikan sinergi positif
seorang ibu pada anaknya, senyuman tawa dan kasih sayang terikat kuat dalam
permainan ini.
Dalam wacana filsafat manusia disebut sebagai Homo Ludens yakni makhluk yang bermain,
sebab manusia juga sangat menyukai permainan dan itulah alasannya mengapa
tercipta beragam bentuk permainan yang hingga saat ini masih terus berkembang
(K. Bertens Panorama Filsafat Modern), Ini menggambarkan bahwa permainan
sanggat lekat dengan perkembangan hidup manusia, walau pada kenyataannya kini
ada pergeseran bentuk permainan dari permainan dulu (tradisional) ke permainan
kini (Modern). Permainan dulu dibentuk dari sesuatu yang sederhana, seperti
gerak tubuh, alat-alat sederhana dari bambu atau kayu, namun dilakukan secara
komunal atau kelompok, berbeda dengan permainan kini yang diciptakana dari
mesin dan teknologi, namun banyak dilakukan secara individu tentu imbas dari
bentuk permainan dulu dan kini yang dilakukan oleh anak-anak akan memberi imbas
pula pada perkembangan psikologi anak yang terus dinamis, pola pikir individual
dan anti sosial akan muncul dari permaian kini malah sifat jahat ingin saling
mengalahkan secara tidak langsung diwariskan oleh jenis permainan kini. Berbeda
dengan permainan dulu yang mengajarkan kekompakan dan kebersamaan ditunjang
dengan kakawihan yang merupakan
amanat dari orang tua pada anaknya.
Kini orang tua semakin sibuk dengan kehidupannya hingga
anak seringkali dibiarkan bermain sendiri tanpa bimbingan maka lahirlah
generasi tanpa aturan dan nilai-nilai luhur yang seharusnya diwariskan oleh
orangtua pada anaknya, ada kerenggangan antara ibu dan anak, ibu sudah selaiknya
orang lain yang hanya menjadi rekan bukan lagi guru yang mengajarkan mana yang
baik dan buruk pada keturunannya. Anak
dibiarkan mencari sendiri kebenaran dalam hidupnya, hingga mereka menemukan
kebenaran yang tidak baik dalam norma-norma kehidupan,
Berangkat dari keresahan itulah konsep garap pertunjukan
“Ucang Angge” dibangun. Sebuah pertunjukan teater yang ingin menghadirkan
kegundahan seorang anak yang tidak lagi mampu memeluk ibunya seperti simbol
permainan Ucang Angge yang memeluk
kedua kaki ibunya, pertunjukan yang mencoba menghadirkan kegundahan anak-anak
yang kehilangan masa-masa dengan orang tuanya yang harusnya mereka miliki saat
mereka dalam masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak yang terusir oleh kesibukan
orang tua, perkembangan zaman dan dinamisnya kehidupan yang tak mampu mereka
serap dengan baik.
Kaki ibu dalam pertunjukan ini akan digambarkan melalui bambu-bambu
besar yang menjuntai dari atap panggung yang digunakan anak-anak untuk bermain ucang angge, sosok ibu akan digambarkan
melalui mannequin sebuah interprestasi dari ibu yang bisu,
angkuh dan tak mau lagi bermain bersama anak-anaknnya. Anak-anak kesepian itu
akan mencari pelampiasan permainan lain sebagai pelipur laranya dengan kembali
bermain permainan tradisional yang kesemuanya permainan ini akan disimbolkan
dengan bambu, diiringi dengan kakawihan, namun
pencarian anak-anak ini gagal dan beralih pada permainan modern yang
ditampilkan dengan proyektor besar
menyorot kemuka panggug, dan dihadirkan pula badut-badut/boneka-boneka yang
kerap ditemuai di jalanan, yang datang dari arah penonton dan mengajak penonton
ikut serta dalam permainan ini, namun semua ini malah memberikan efek negativ
pada anak-anak itu, anak-anak menjadi lebih individulaistis dan kasar ini semua
imbas dari permainan modern yang mereka mainkan, hingga mereka mulai berlaku
kasar, hal tersebut mereka lakukan pula kepada orang tua mereka yang
disimbolkan melalui mannequin tadi,
tidak ada yang mampu menahan amarah mereka, mereka menjadi brutal, hingga semua
kembali pada kerinduan kepada masa-masa mereka bersama orang tuanya, masa ibu
membelai mereka dan mengajarkan mereka tentang hal-hal yang baik melalui
permainan tradisional yang mereka lakuakan bersama. Pertunjukan ditutup dengan
kerinduan yang pilu dari seorang anak kepada orang tuanya yang enggan lagi
menemani mereka saat bermain.
Setting panggung yang digarap dengan komponen bambu
memberikan kesan tradisional namun tetap modern dengan suguhan proyektor dan
permainan lampu serta tata musik yang dinamis perpaduan antara musik
tradisional sunda dan musik modern, fragment teater rakyat sunda (Longser) akan
disuguhkan pula dalam pertunjukan ini sehingga kedekatan penonton dan
pertunjukan terasa intim.
Suguhan pertunjukan ini diusahakan mampu mengembalikan
kerinduan penonton pada permainan tradisional masa lalunya, dan memberikan
pencerahan bahwa permainan itu penting bagi perkembangan anak, namun
permainan-permainan yang memberikan edukasi tentunya, dan pula pertunjukan ini
diharapkan menjadi sock terapi kepada
orang tua, menghadirkan kesadaran mereka bahwa membimbing anak dalam masa
perkembangannya adalah sesuatu hal yang penting, selain itu edukasi tentang
jenis-jenis permainan tradisional sunda adalah salahsatu capaian yang ingin
diberikan kepada penonton.
Proses penggarapan dimulai dengan mempersiapkan aktor agar
mampu memainkan pelbagai permainan daerah sunda, ini semua dilakukan agar aktor
mampu dan menguasai permainan-permainan tersebut, lokakarya dan diskusi tentang
permainan tradisional dan mamfaatnya terus dilakukan aktor demi menambah
pengetahuannya, serta mendatangi komunitas Hong
sebagai komunitas pelestari permainan tradisional sunda. Penelitian tentang
permainan-permainan sunda yang mulai punahpun dilakukan oleh penggarap demi
terbentunknya pertunjukan yang berkualitas, observasi keaktoran pencarian
bentuk elemen bambu untuk artistik panggung dilakukan dengan teliti antara
sutradara dan penata artistik. Sehingga segala kebutuhan panggung digarap
dengan seksama dan detail. Sehingga tercipta pertunjukan yang memberikan
edukasi kepada penontonnya, seperti yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara
dalam kata yang digagasnya yaitu “Sandiwara” yang dibentuk oleh dua kata
“Sandi” yang berarti “Rahasia” dan “Wara” dari bahasa Jawa yaitu “Warah” yang berarti
pegajaran, hingga Sandiwara memiliki arti pengajaran yang dirahasiakan,
pengajaran itu adalah interpretasi dari pertunjukan dan rahasia itu ditampilkan
dari seni peran dan keutuhan pertunjukan teater yang ditampilkan dalam
pertunjukan “Ucang Angge”.