Sabtu, 29 Oktober 2016

PERTUNJUKAN TEATER “UCANG ANGGE”

PERTUNJUKAN TEATER “UCANG ANGGE”
Oleh : Achmad Dayari


Ucang-ucang angge
Mulung muncang ka parangge
Digogog ku anjing gede
Anjing gede nu pa lebe
Ari gog, gog cungungung

Lirik diatas adalah lirik Kakawihan sunda (lagu anak-anak) yang biasa dinyayikan oleh orang tua pada anaknya, bentuk permainannya adalah dengan posisi orang tua duduk diatas kursi atau tempat yang lebih tinggi, anaknya duduk di kedua kaki ibu atau ayahnya lalu diayunkan sembari dinyayikan lagu tersebut, permainan ini adalah simbol begitu dekatnya orang tua khususnya ibu dengan anaknya, permainan ini mungkin pada hari ini jarang lagi dimainkan oleh ibu dan anak. Sebagai sebuah permainan daerah, Ucang Angge memberikan sinergi positif seorang ibu pada anaknya, senyuman tawa dan kasih sayang terikat kuat dalam permainan ini.
Dalam wacana filsafat manusia disebut sebagai Homo Ludens yakni makhluk yang bermain, sebab manusia juga sangat menyukai permainan dan itulah alasannya mengapa tercipta beragam bentuk permainan yang hingga saat ini masih terus berkembang (K. Bertens Panorama Filsafat Modern), Ini menggambarkan bahwa permainan sanggat lekat dengan perkembangan hidup manusia, walau pada kenyataannya kini ada pergeseran bentuk permainan dari permainan dulu (tradisional) ke permainan kini (Modern). Permainan dulu dibentuk dari sesuatu yang sederhana, seperti gerak tubuh, alat-alat sederhana dari bambu atau kayu, namun dilakukan secara komunal atau kelompok, berbeda dengan permainan kini yang diciptakana dari mesin dan teknologi, namun banyak dilakukan secara individu tentu imbas dari bentuk permainan dulu dan kini yang dilakukan oleh anak-anak akan memberi imbas pula pada perkembangan psikologi anak yang terus dinamis, pola pikir individual dan anti sosial akan muncul dari permaian kini malah sifat jahat ingin saling mengalahkan secara tidak langsung diwariskan oleh jenis permainan kini. Berbeda dengan permainan dulu yang mengajarkan kekompakan dan kebersamaan ditunjang dengan kakawihan yang merupakan amanat dari orang tua pada anaknya.
Kini orang tua semakin sibuk dengan kehidupannya hingga anak seringkali dibiarkan bermain sendiri tanpa bimbingan maka lahirlah generasi tanpa aturan dan nilai-nilai luhur yang seharusnya diwariskan oleh orangtua pada anaknya, ada kerenggangan antara ibu dan anak, ibu sudah selaiknya orang lain yang hanya menjadi rekan bukan lagi guru yang mengajarkan mana yang baik dan buruk pada keturunannya.  Anak dibiarkan mencari sendiri kebenaran dalam hidupnya, hingga mereka menemukan kebenaran yang tidak baik dalam norma-norma kehidupan,
Berangkat dari keresahan itulah konsep garap pertunjukan “Ucang Angge” dibangun. Sebuah pertunjukan teater yang ingin menghadirkan kegundahan seorang anak yang tidak lagi mampu memeluk ibunya seperti simbol permainan Ucang Angge yang memeluk kedua kaki ibunya, pertunjukan yang mencoba menghadirkan kegundahan anak-anak yang kehilangan masa-masa dengan orang tuanya yang harusnya mereka miliki saat mereka dalam masa kanak-kanak. Masa kanak-kanak yang terusir oleh kesibukan orang tua, perkembangan zaman dan dinamisnya kehidupan yang tak mampu mereka serap dengan baik.
Kaki ibu dalam pertunjukan ini akan digambarkan melalui bambu-bambu besar yang menjuntai dari atap panggung yang digunakan anak-anak untuk bermain ucang angge, sosok ibu akan digambarkan melalui mannequin  sebuah interprestasi dari ibu yang bisu, angkuh dan tak mau lagi bermain bersama anak-anaknnya. Anak-anak kesepian itu akan mencari pelampiasan permainan lain sebagai pelipur laranya dengan kembali bermain permainan tradisional yang kesemuanya permainan ini akan disimbolkan dengan bambu, diiringi dengan kakawihan, namun pencarian anak-anak ini gagal dan beralih pada permainan modern yang ditampilkan dengan proyektor besar menyorot kemuka panggug, dan dihadirkan pula badut-badut/boneka-boneka yang kerap ditemuai di jalanan, yang datang dari arah penonton dan mengajak penonton ikut serta dalam permainan ini, namun semua ini malah memberikan efek negativ pada anak-anak itu, anak-anak menjadi lebih individulaistis dan kasar ini semua imbas dari permainan modern yang mereka mainkan, hingga mereka mulai berlaku kasar, hal tersebut mereka lakukan pula kepada orang tua mereka yang disimbolkan melalui mannequin tadi, tidak ada yang mampu menahan amarah mereka, mereka menjadi brutal, hingga semua kembali pada kerinduan kepada masa-masa mereka bersama orang tuanya, masa ibu membelai mereka dan mengajarkan mereka tentang hal-hal yang baik melalui permainan tradisional yang mereka lakuakan bersama. Pertunjukan ditutup dengan kerinduan yang pilu dari seorang anak kepada orang tuanya yang enggan lagi menemani mereka saat bermain.
Setting panggung yang digarap dengan komponen bambu memberikan kesan tradisional namun tetap modern dengan suguhan proyektor dan permainan lampu serta tata musik yang dinamis perpaduan antara musik tradisional sunda dan musik modern, fragment teater rakyat sunda (Longser) akan disuguhkan pula dalam pertunjukan ini sehingga kedekatan penonton dan pertunjukan terasa intim.
Suguhan pertunjukan ini diusahakan mampu mengembalikan kerinduan penonton pada permainan tradisional masa lalunya, dan memberikan pencerahan bahwa permainan itu penting bagi perkembangan anak, namun permainan-permainan yang memberikan edukasi tentunya, dan pula pertunjukan ini diharapkan menjadi sock terapi kepada orang tua, menghadirkan kesadaran mereka bahwa membimbing anak dalam masa perkembangannya adalah sesuatu hal yang penting, selain itu edukasi tentang jenis-jenis permainan tradisional sunda adalah salahsatu capaian yang ingin diberikan kepada penonton.

Proses penggarapan dimulai dengan mempersiapkan aktor agar mampu memainkan pelbagai permainan daerah sunda, ini semua dilakukan agar aktor mampu dan menguasai permainan-permainan tersebut, lokakarya dan diskusi tentang permainan tradisional dan mamfaatnya terus dilakukan aktor demi menambah pengetahuannya, serta mendatangi komunitas Hong sebagai komunitas pelestari permainan tradisional sunda. Penelitian tentang permainan-permainan sunda yang mulai punahpun dilakukan oleh penggarap demi terbentunknya pertunjukan yang berkualitas, observasi keaktoran pencarian bentuk elemen bambu untuk artistik panggung dilakukan dengan teliti antara sutradara dan penata artistik. Sehingga segala kebutuhan panggung digarap dengan seksama dan detail. Sehingga tercipta pertunjukan yang memberikan edukasi kepada penontonnya, seperti yang diwariskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam kata yang digagasnya yaitu “Sandiwara” yang dibentuk oleh dua kata “Sandi” yang berarti “Rahasia” dan “Wara” dari bahasa Jawa yaitu “Warah” yang berarti pegajaran, hingga Sandiwara memiliki arti pengajaran yang dirahasiakan, pengajaran itu adalah interpretasi dari pertunjukan dan rahasia itu ditampilkan dari seni peran dan keutuhan pertunjukan teater yang ditampilkan dalam pertunjukan “Ucang Angge”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahka masukan komentar anda!