Seorang
sahabat, bekerja sebagai pelatih teater dan guru honor di kota Bogor, sama
persis dengan pekerjaanku dulu di Sukabumi, bedanya aku mengajar di sekolah
negeri sahabatku ini disekolah swasta, dan yang membedakannya lagi adalah
kesejahtraan hidup yang sahabatku terima di sekolahnya.
Aku memilih
keluar dari sekolah tempatku bekerja karena memang rencana semenjak dulu,
melihat perkembangan diri dalam kualitas ekonomi yang tak kunjung membaik dan
pertikaian yang menjijikan dengan Pembina ekstrakulikuler teater, Bekerja
sebagai guru honor hanya digaji ratusan ribu, apalagi menjadi pelatih
ekstrakuliker, walau prestasi kerap aku raih dengan ektrakulikuler teater
disekolah itu, tetap saja para penguasa
sekolah itu tidak bergeming dengan memberikan bonus atau apalah berupa materi,
bukan berbicara ikhlas atau tidak ikhlas dalam mendidik tapi durasi hampir 8
tahun sudah pasti aku kategorikan ikhlas, nah ini berbanding terbalik dengan
yang sahabatku dapatkan dikota Bogor, dia diangkat menjadi Pembina seni
sekaligus penanggung jawab kesenian disekolahnya mengajar, hanya dalam durasi
sekitar 3tahun mengajar ektrakulikuler dia telah memberikan prestasi yang baik
untuk sekolahnya, hal tersebut langsung diapresiasi sekolah dengan meberikan
tunjungan, bonus dan lain-lain.
Catatan
ini bukan ingin menunjukan kehebatan satu pihak atau lainnya, atau pula
melakukan perbandingan, tapi sebenarnya saya mengkaji apa yang terjadi dari
gejala ini semua, apakah letak geografis, tata hidup, lingkungan, dan
pendidikan mempengaruhi pola pikir
manusia ? saya jawab itu mempengaruhi, jika kita hidup dalam lingkungan
pembunuh pastilah suatu saat kita bisa membunuh, begitu pula dalam fenomena
ini, tempat saya tinggal dan bekerja dulu adalah lingkungan guru-guru yang
tujuannya bukan hanya mendidik tapi ada tujuan lain yang bersifat material, system
“nu kolot nu lewih bener” masih berlaku disekolah itu, cara berpikir yang
monoton, seperti tidak menerima kritikan, tidak mau diajak berdiskusi, tidak
pernah mau mengakui kesalahan adalah cara berpikir manusia disana. Berbeda dengan
di kota kawan saya tinggal, orang-orang disini dominan adalah orang-orang yang
mau belajar menerima kesalahan, mau diskusi, dan siap menerima
kritikan, sehingga mereka tumbuh menjadi manusia dinamis dan
kehidupannya menjadi harmonis, hilanglah penindasan terhadap kaum lemah.
Sementara
sampai saat ini, di daerah saya mengajar dulu, rekan kerja saya semua hampir
bersifat konvesional negatif, hal ini ditunjukan dalam tidak tanduk, ucap dan
lakunya, baik yang berada dibawah maupun diatas jabatanya, padahal mereka semua
manusia berpendidikan, kuliahnya hingga S2. Berarti saya menyalahkan lingkungan
yang merusak pola pikir mereka, mereka mencoba mimikri dengan lingkunganya
hingga mereka ingin diakui keberdaanya dalam lingkungan tersebut, setelah
diakui mereka menjadi penguasa dan siap menindas yang kecil.
Disayangkan
manusia-manusia ini adalah manusia yang enggan belajar dari kesalahan, atau
mengakui kesalahan, manusia ini manusia yang serakah tanpa berpikir manusia
lain, menyedihkan tinggal lama dalam lingkungan yang hampir saja merusak pola
pikir dalam diri ini, menjadi berbeda selalu lebih baik dibanding sama dan
begitu-begitu saja, kita berbeda dan mencoba merubahnya.
“Lebih baik diasingkan daripada meneyerah pada kemunafikan” (Soe Hok
Gie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahka masukan komentar anda!