Jumat, 04 April 2014

KEKAYAAN GERAK DALAM DITORSI BUNYI



KEKAYAAN GERAK DALAM DITORSI BUNYI

          

  Sesaat ketika memasuki gedung Juang 45 Kota Sukabumi yang belum selesai direnovasi terdapat baliho besar yang menarik untuk dibaca dari kelompok Fantasi star yang akan pertunjukan pada malam ini baliho yang membuat saya tertarik berjudul FANTASI STAR STORY “Dua tahun perjalanan fantasi star kami mencoba konsisten mengahadirkan pertunjukan yang tidak hanya menghibur tapi juga mendidik kami sadar selama perjalanan ini tidak selamanya berjalan sesuai dengan rencana tapi kami akan terus berusaha sekuat tenaga untuk berkarya demi kemajuan industri kreatif di kota Sukabumi kami akan terus berkarya selama jantung ini berdetak selama nafas ini berhembus, kami akan terus berkarya selama detak ini mengalir dan kami adalah fantasi star creative, memang sedikit terdengar hiperbola apa yang tertulis dibaliho gedung Juang ini, namun ini mungkin keinginan besar yang dijadikan tujuan para creator komunitas fantasi star, kita tidak akan membahas permasalahan wacana tersebut tapi yang akan saya bahas haya sedikit pemaparan tentang pertunjukan yang di gelar oleh Fantasi Star.
            Sabtu malam 22 Februari 2014 gedung Juang Sukabumi kembali meriah setelah lama bisu dari hingar-bingar seni pertunjukan, malam itu kelompok kabaret yang menamakan diri Fantasi Star merayakan ulang tahunnya yang kedua, mereka mempertunjukan 3 komposisi pertunjukan, yang pertama tari modern dengan judul Dance Art Black Swam, kedua Kabaret Newsies, dan ketiga musical Monster Rock,  pertunjukan dibuka oleh seorang MC yang berkelamin laki-laki dan berpakaian seperti wanita, tokoh ini cukup digandrungi oleh para penonton yang notabene adalah sisa-siswi SMA di kota Sukabumi, dengan keadaan panggung yang belum selesai seperti kain di wings dan backdrop anggung yang masih kosong sedikit menggangu konsentrasi saat menyaksikan pertunjukan pembukaan oleh fantasi star yaitu komposisi tari modern yang temanya diambil dari film Black Swam, komposisi yang berlangsung sekitar tigapuluh menit ini dibumbui dengan tata kostum yang menarik para penari yang didominasi oleh anak perempuan usia SMA memperlihatkan kecintaannya terhadap jenis tari modern ini dengan baik, sehingga rampak gerak yang mereka lakukan terlihat begitu baik, pagelaran tari yang di pertunjukan diatas panggung dengan dekorasi besi besi panggung yang diberi lampu warna-warni ini merupakan hasil karya Wendi Widiarsyah. Wendi apik menyusun adegan tari dari satu bagian kebagian lainya sehingga para penonton terlihat senang melihat pertunjukan tersebut.
            Pertunjukan kedua adalah kabaret yang diberi judul Newsies disutradarai oleh Muhamad Alvin dan Llili Aminulloh, dalam catatn Fantasi Star naskah ini berkali-klai mendapatkan penghargaan diantaranya : Cerita terbaik di FESSKAL, Koreografi terbaik, Mixing terbaik, Aktor Terbaik, Kostum Terbaik di festival yang diselenggarakan oleh Mahasiswa UPI. Sukabumi pada dasarnya memang sebuah kota yang anak mudanya menggandrungi pertunjukan kabaret khususnya mereka yang berada di bangku SMA, mereka sudah lama terhegemoni oleh dunia Kabaret dengan bukti banyaknya komunitas teater SMA di kota Sukabumi yang memilih kiblatnya yaitu Kabaret, ada dua Festival besar yang melombakan jenis pertunjukan kabaret di kota Sukabumi yaitu FESSKAL dan FSTK, banyaknya guru mata pelajaran seni yang memberikan tugas praktek kepada siswanya yaitu pertunjukan Kabaret.
            Istilah kabaret berasal dari sebuah kata berbahasa Prancis untuk ruangan bar atau cafe yang merupakan tempat lahirnya hiburan ini, kata ini awalnya berasal dari bahasa Belanda tengah “Cabret”, bahasa Prancis utara kuno “Camberrete dan dari bahasa latin “camera” yang pada intinya meiliki makna “Ruangan kecil”, kabaret juga merujuk ke rumah bordil gaya Mediterania, bar dengan meja-meja dan wanita-wanita yang berbaur serta menghibur para pengunjung bar tersebut sering juga ditambah dengan hiburan seperti tari-tarian tergantung tempatnya masing-masing, sifatnya dapat liar dan kasar
            Catatan diatas merupakan sedikit wacana mengenai sejarah dari nama kabaret sebelum berubah fungsi dan makna seperti sekarang, di Jawa Bara Kabaret berkembang di Kota Bandung dan mungkin lahirnya kabaret sebagai bentuknya sekarang ini terlahir dikota ini pula, dcetuskan oleh kelompok kelompok mahasiswa bandung pada masa itu seperti padihyangan dan yang lainnya, dan berkembanglah jenis kabaret ini seperti sekarang. Kelompok-kelpompok kabaret di kota Sukabmi dan Bandung Sama berkembang pesatnya sehingga beberpa Festival Kabart di Bandung seringkali di juarai olh kelompok kabaret dari Sukabumi, sebuah pencapaian yang luar biasa dari sebuah kota yang kini terlihat tabu dari seni tradisinya malah berkembang di bentuk seni postmodernnya yaitu Kabaret.
            Pada pertunjukanm malam ini, Fantasi Star dan berkabaretnya sedikit merubah paradigma kabaret yag biasa dihadirkan siswa siswi SMA Di kota Sukabumi, seperti adegan berpelukan yang berlebiha atau adegan percintaan yang acapkali mengundang hasrat bagi para penontonnya atau malah aktornya sendiri, Fantasi berusaha memetamorfosis diri sehingga tampilan kabaret yang mengisahkan seorang penjual Koran di kota Newyork ini sedikit mengalami anti klimaks di beberapa adegan di tengah pertunjukan mengakibatkan penonton banyak terdiam tanpa berteriak histeris seperti biasanya penonton kabaret di kota Sukabumi, namun setidaknya ini semua menurangi dampak pragmatisasi dari kabaret itu sendiri, Kabaret menjadi sebuah industri budaya pragmatis yang mengucilkan estetika teater yang sesungguhnya yang dibangun sejak lama, kabaret merupakan proses pasif para penikmatnya, mereka mencoba menghindar dari komleksitas sebuah pertunjukan seni teater yang merupakan tingkat kecerdasan para penggiatnya, bentuk pragmatis ini mencoba menghindar dari tata artistik yang baik dan tata pentas yang baik yang selalu terbangun dari pertunjukan teater, kabaret amat sangat menurunkan setandarisasi pertunjukan seni teater sesungguhnya, sehingga menimbulkan bentuk dangkal dalam sebuah seni pertunjukan, ini semua demi mengejar kepragmatisan sebuah seni teater, mengejar konsumsi publik, dan popularitas hingga menciptakan kapitalisme produk kesenian, Inilah yang dipandang oleh Adorno dan Horkheimer sebagai muslihat besar. Sebagai dosa masa lalu atas kuasa rasio teknologi, individu justru kehilangan basis otonomi dan kendali atas dirinya. Dengan “pencerahan” justru masyarakat diposisikan seolah-oleh sebagai subjek, padahal mereka adalah objek dalam perspektif ini, budaya tidak lagi lahir dari masyarakat sebagaimana yang dipahami dalam konsep ”mass culture,” namun diproduksi dan direproduksi oleh kaum kapitalis atau penguasa dan pemilik modal (borjuasi) untuk meraup keuntungan. Ilusi-ilusi yang mengiring semangat (sprit) “pencerahan” sebagai ekspresi kebebasan atau emansipatoris justru jangan dilihat secara kasat mata. Didalamnya penuh tendensi kepentingan, yaitu ekonomi politik (baca: kekuasaan kelas borjuasi). 
            Dibalik pandangan tersebut jasa besar kelompok ini untuk mengembangkan seni pertunjukan telah terukir di kota yang dulunya dihuni oleh bentuk bentuk teater adiluhung seperti Uyeg yang dikembangkan oleh Anis Djati Sunda, dan juga tempat para kelompok teater yang mendiami kota ini sebelumnya seperti Sri Asih, Rawayan, Teater Juang, Bengkel Seni Sukabumi dan lainya,
            Perkembangan seni pertunjukan memang dinamis, namun bagaimana kita menyingkapinya dengan baik, sehingga bentuk dinamis ini tetap katarsis tidak menjadi pragmatis.

ACHMAD DAYARI
Mahasiswa Pascasarjana
Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukan
Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahka masukan komentar anda!