KEKAYAAN
GERAK DALAM DITORSI BUNYI
Sesaat ketika memasuki gedung Juang 45 Kota Sukabumi yang belum selesai direnovasi terdapat baliho besar yang menarik untuk dibaca dari kelompok Fantasi star yang akan pertunjukan pada malam ini baliho yang membuat saya tertarik berjudul FANTASI STAR STORY “Dua tahun perjalanan fantasi star kami mencoba konsisten mengahadirkan pertunjukan yang tidak hanya menghibur tapi juga mendidik kami sadar selama perjalanan ini tidak selamanya berjalan sesuai dengan rencana tapi kami akan terus berusaha sekuat tenaga untuk berkarya demi kemajuan industri kreatif di kota Sukabumi kami akan terus berkarya selama jantung ini berdetak selama nafas ini berhembus, kami akan terus berkarya selama detak ini mengalir dan kami adalah fantasi star creative, memang sedikit terdengar hiperbola apa yang tertulis dibaliho gedung Juang ini, namun ini mungkin keinginan besar yang dijadikan tujuan para creator komunitas fantasi star, kita tidak akan membahas permasalahan wacana tersebut tapi yang akan saya bahas haya sedikit pemaparan tentang pertunjukan yang di gelar oleh Fantasi Star.
Sabtu
malam 22 Februari 2014 gedung Juang Sukabumi kembali meriah setelah lama bisu
dari hingar-bingar seni pertunjukan, malam itu kelompok kabaret yang menamakan
diri Fantasi Star merayakan ulang tahunnya yang kedua, mereka mempertunjukan 3
komposisi pertunjukan, yang pertama tari modern dengan judul Dance Art Black
Swam, kedua Kabaret Newsies, dan ketiga musical Monster Rock, pertunjukan dibuka oleh seorang MC yang
berkelamin laki-laki dan berpakaian seperti wanita, tokoh ini cukup digandrungi
oleh para penonton yang notabene adalah sisa-siswi SMA di kota Sukabumi, dengan
keadaan panggung yang belum selesai seperti kain di wings dan backdrop anggung
yang masih kosong sedikit menggangu konsentrasi saat menyaksikan pertunjukan
pembukaan oleh fantasi star yaitu komposisi tari modern yang temanya diambil
dari film Black Swam, komposisi yang berlangsung sekitar tigapuluh menit ini
dibumbui dengan tata kostum yang menarik para penari yang didominasi oleh anak
perempuan usia SMA memperlihatkan kecintaannya terhadap jenis tari modern ini
dengan baik, sehingga rampak gerak yang mereka lakukan terlihat begitu baik,
pagelaran tari yang di pertunjukan diatas panggung dengan dekorasi besi besi
panggung yang diberi lampu warna-warni ini merupakan hasil karya Wendi
Widiarsyah. Wendi apik menyusun adegan tari dari satu bagian kebagian lainya
sehingga para penonton terlihat senang melihat pertunjukan tersebut.
Pertunjukan
kedua adalah kabaret yang diberi judul Newsies disutradarai oleh Muhamad Alvin
dan Llili Aminulloh, dalam catatn Fantasi Star naskah ini berkali-klai
mendapatkan penghargaan diantaranya : Cerita terbaik di FESSKAL, Koreografi
terbaik, Mixing terbaik, Aktor Terbaik, Kostum Terbaik di festival yang
diselenggarakan oleh Mahasiswa UPI. Sukabumi pada dasarnya memang sebuah kota
yang anak mudanya menggandrungi pertunjukan kabaret khususnya mereka yang
berada di bangku SMA, mereka sudah lama terhegemoni oleh dunia Kabaret dengan
bukti banyaknya komunitas teater SMA di kota Sukabumi yang memilih kiblatnya
yaitu Kabaret, ada dua Festival besar yang melombakan jenis pertunjukan kabaret
di kota Sukabumi yaitu FESSKAL dan FSTK, banyaknya guru mata pelajaran seni
yang memberikan tugas praktek kepada siswanya yaitu pertunjukan Kabaret.
Istilah kabaret berasal
dari sebuah kata berbahasa Prancis untuk ruangan bar atau cafe yang merupakan
tempat lahirnya hiburan ini, kata ini awalnya berasal dari bahasa Belanda
tengah “Cabret”, bahasa Prancis utara kuno “Camberrete dan dari bahasa latin
“camera” yang pada intinya meiliki makna “Ruangan kecil”, kabaret juga merujuk
ke rumah bordil gaya Mediterania, bar dengan meja-meja dan wanita-wanita yang
berbaur serta menghibur para pengunjung bar tersebut sering juga ditambah
dengan hiburan seperti tari-tarian tergantung
tempatnya masing-masing, sifatnya
dapat liar dan kasar
Catatan diatas merupakan sedikit
wacana mengenai sejarah dari nama kabaret sebelum berubah fungsi dan makna
seperti sekarang, di Jawa Bara Kabaret berkembang di Kota Bandung dan mungkin
lahirnya kabaret sebagai bentuknya sekarang ini terlahir dikota ini pula,
dcetuskan oleh kelompok kelompok mahasiswa bandung pada masa itu seperti
padihyangan dan yang lainnya, dan berkembanglah jenis kabaret ini seperti
sekarang. Kelompok-kelpompok kabaret di kota Sukabmi dan Bandung Sama
berkembang pesatnya sehingga beberpa Festival Kabart di Bandung seringkali di
juarai olh kelompok kabaret dari Sukabumi, sebuah pencapaian yang luar biasa
dari sebuah kota yang kini terlihat tabu dari seni tradisinya malah berkembang
di bentuk seni postmodernnya yaitu Kabaret.
Pada pertunjukanm malam ini, Fantasi
Star dan berkabaretnya sedikit merubah paradigma kabaret yag biasa dihadirkan
siswa siswi SMA Di kota Sukabumi, seperti adegan berpelukan yang berlebiha atau
adegan percintaan yang acapkali mengundang hasrat bagi para penontonnya atau
malah aktornya sendiri, Fantasi berusaha memetamorfosis diri sehingga tampilan
kabaret yang mengisahkan seorang penjual Koran di kota Newyork ini sedikit
mengalami anti klimaks di beberapa adegan di tengah pertunjukan mengakibatkan
penonton banyak terdiam tanpa berteriak histeris seperti biasanya penonton
kabaret di kota Sukabumi, namun setidaknya ini semua menurangi dampak
pragmatisasi dari kabaret itu sendiri, Kabaret menjadi sebuah industri budaya pragmatis yang
mengucilkan estetika teater yang sesungguhnya yang dibangun sejak lama, kabaret
merupakan proses pasif para penikmatnya, mereka mencoba menghindar dari
komleksitas sebuah pertunjukan seni teater yang merupakan tingkat kecerdasan
para penggiatnya, bentuk pragmatis ini mencoba menghindar dari tata artistik
yang baik dan tata pentas yang baik yang selalu terbangun dari pertunjukan
teater, kabaret amat sangat menurunkan setandarisasi pertunjukan seni teater
sesungguhnya, sehingga menimbulkan bentuk dangkal dalam sebuah seni
pertunjukan, ini semua demi mengejar kepragmatisan sebuah seni teater, mengejar
konsumsi publik, dan popularitas hingga menciptakan kapitalisme produk
kesenian, Inilah yang
dipandang oleh Adorno dan Horkheimer sebagai muslihat besar. Sebagai dosa masa
lalu atas kuasa rasio teknologi, individu justru kehilangan basis otonomi dan
kendali atas dirinya. Dengan “pencerahan” justru masyarakat diposisikan
seolah-oleh sebagai subjek, padahal mereka adalah objek dalam
perspektif ini, budaya tidak lagi lahir dari masyarakat sebagaimana yang
dipahami dalam konsep ”mass
culture,”
namun diproduksi dan direproduksi oleh kaum kapitalis atau penguasa dan pemilik
modal (borjuasi) untuk meraup keuntungan. Ilusi-ilusi yang mengiring semangat
(sprit) “pencerahan” sebagai ekspresi kebebasan atau emansipatoris justru
jangan dilihat secara kasat mata. Didalamnya penuh tendensi kepentingan, yaitu ekonomi
politik (baca: kekuasaan kelas borjuasi).
Dibalik
pandangan tersebut jasa besar kelompok ini untuk mengembangkan seni pertunjukan
telah terukir di kota yang dulunya dihuni oleh bentuk bentuk teater adiluhung
seperti Uyeg yang dikembangkan oleh Anis Djati Sunda, dan juga tempat para
kelompok teater yang mendiami kota ini sebelumnya seperti Sri Asih, Rawayan,
Teater Juang, Bengkel Seni Sukabumi dan lainya,
Perkembangan
seni pertunjukan memang dinamis, namun bagaimana kita menyingkapinya dengan baik,
sehingga bentuk dinamis ini tetap katarsis tidak menjadi pragmatis.
ACHMAD DAYARI
Mahasiswa
Pascasarjana
Jurusan
Pengkajian Seni Pertunjukan
Sekolah
Tinggi Seni Indonesia Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahka masukan komentar anda!